Home / Human Interest / Hari Ibu: Putus Luka Tak Terucap Demi Cinta Tanpa Syarat

Hari Ibu: Putus Luka Tak Terucap Demi Cinta Tanpa Syarat

Hari Ibu: Merayakan Lebih dari Sekadar Peran, Memahami Kompleksitas Hubungan

Setiap tanggal 22 Desember, Indonesia merayakan Hari Ibu. Momen ini biasanya diisi dengan berbagai ucapan tulus untuk sosok ibu, yang seringkali diagungkan karena ketabahannya dan dianggap sebagai perwujudan kebajikan. Ibu kerap digambarkan sebagai sosok yang sempurna, selalu kuat, sabar, dan benar. Dalam narasi ini, keibuan menjelma menjadi simbol yang rapi dan penuh kehangatan.

Tidak ada yang salah dengan penggambaran ideal ini, yang lahir dari niat baik untuk menghormati peran ibu yang terkadang luput dari pengakuan formal. Di banyak keluarga, ibu memang menjalankan peran ganda yang berat: mengasuh anak, mengelola rumah tangga, menopang emosi seluruh anggota keluarga, bahkan berkontribusi pada stabilitas ekonomi keluarga. Perayaan Hari Ibu menjadi ruang untuk mengungkapkan rasa terima kasih yang mungkin tertunda.

Namun, di sinilah letak persoalannya. Ketika satu narasi diputar berulang kali, ia perlahan menjadi satu-satunya cerita yang dianggap sah. Padahal, kenyataannya, banyak ibu yang jauh dari gambaran ideal yang dibentuk oleh masyarakat. Banyak di antara mereka yang tumbuh dari luka masa lalu yang terus terbawa, bahkan tanpa disadari diturunkan kepada anak-anak mereka sebagai “hukuman”, padahal cinta sejati tidak menuntut dan tidak melukai, melainkan membebaskan.

Anak semestinya tidak dibebani kewajiban untuk membalas budi atas kelahirannya, karena ia tidak memiliki pilihan untuk dilahirkan. Konsep ibu yang hanya memegang amanah “Semesta” untuk memandirikan anak tanpa pamrih terasa sulit dipahami di tengah gempuran konsep ibu ideal yang terus diulang-ulang di masyarakat saat ini. Bahkan, sosok ibu yang tidak menuntut anak untuk mendoakannya demi “surga”-nya kelak, terkadang justru dianggap “aib” bagi perempuan yang dipandang “tidak religius”.

Ramalan Akhir Tahun: 4 Zodiak yang Doa dan Impiannya Terwujud

“Nak, kamu tidak perlu memberiku apa pun, kamu tidak berutang apa pun padaku, bahkan kamu tidak wajib mendoakanku masuk surga jika kau tidak ikhlas. Aku akan mengusahakan ‘surga’ku sendiri, kamu hanya bertanggung jawab untuk berjuang demi hidupmu sendiri!” demikianlah kutipan dari seorang ibu bernama Kori kepada anaknya di masa lalu.

Dalam konteks yang lebih luas, ibu tidak lagi diposisikan sebagai manusia utuh dengan pengalaman yang beragam, melainkan sebagai figur ideal yang harus senantiasa dipuja. Segala hal yang tidak sesuai dengan gambaran tersebut cenderung disingkirkan, dianggap tidak pantas hadir dalam perayaan. Di ruang publik, hampir tidak ada ruang bagi percakapan tentang ibu yang lelah, yang membuat kesalahan, atau yang terjebak dalam pola pengasuhan yang problematis. Keibuan diperlakukan sebagai wilayah sakral yang kebal kritik, seolah mempertanyakan praktiknya sama dengan meniadakan jasa dan cinta itu sendiri.

Akibatnya, Hari Ibu seringkali menjadi perayaan peran, bukan refleksi mendalam tentang hubungan. Yang dirayakan adalah fungsi sosial seorang ibu, bukan dinamika nyata hubungan ibu dan anak yang seringkali kompleks. Padahal, relasi keluarga, seperti relasi antarmanusia pada umumnya, tidak selalu berjalan mulus dan ideal.

Narasi yang terlalu tunggal ini memang tidak sepenuhnya salah, tetapi jelas tidak lengkap. Ia memang menenangkan, namun sekaligus menyederhanakan. Ia memuliakan, namun di sisi lain membungkam sisi-sisi yang tidak sesuai dengan gambaran ideal.

Memperluas Makna Hari Ibu

Di sinilah Hari Ibu perlu diberi makna yang lebih luas. Bukan untuk mengurangi rasa hormat, melainkan untuk memperkaya pemahaman. Sebab, penghargaan yang matang tidak hanya lahir dari pujian, tetapi juga dari keberanian untuk melihat kenyataan apa adanya, secara jujur dan berimbang.

Insanul Fahmi Dikritik, Akui Ingin Pertahankan Wardatina dan Inara Rusli

Hari Ibu dapat dimaknai lebih luas, bukan sekadar sebagai perayaan peran, melainkan sebagai ruang refleksi bersama tentang relasi dan tanggung jawab lintas generasi. Penghormatan terhadap ibu tidak harus berhenti pada puja-puji semata, tetapi dapat berkembang menjadi upaya sadar untuk membangun hubungan yang lebih sehat. Mengakui bahwa sebagian relasi ibu dan anak meninggalkan luka bukanlah bentuk pembangkangan moral. Sebaliknya, pengakuan tersebut menjadi langkah awal untuk memahami bahwa cinta tidak selalu hadir dalam praktik yang tepat. Niat baik tidak selalu menghasilkan dampak yang baik, terutama ketika kekuasaan, ketakutan, dan komunikasi yang timpang dibiarkan berlangsung tanpa koreksi.

Bagi generasi yang saat ini menjadi orang tua, atau sedang menuju ke sana, refleksi ini menjadi sangat penting. Pertanyaannya bukan lagi siapa ibu yang paling berkorban, melainkan bagaimana keibuan dijalankan dalam keseharian. Apakah anak diberi ruang untuk bertumbuh sebagai individu yang utuh, atau justru dipelihara dalam kepatuhan yang sunyi.

Pendekatan pengasuhan reflektif menekankan pentingnya kesadaran diri orang tua terhadap luka dan pola relasinya sendiri, agar tidak diwariskan secara otomatis kepada anak. Memutus siklus tidak berarti memutus hubungan, melainkan mengganti cara. Mengganti ancaman dengan dialog, kontrol dengan kepercayaan, serta tuntutan moral dengan kehadiran emosional. Ia juga berarti berani menyadari bahwa kehilangan kendali bukan berarti kehilangan cinta. Anak yang dewasa tidak sedang meninggalkan orang tuanya, melainkan sedang menjalani kehidupannya sendiri.

Hari Ibu dapat menjadi momentum untuk menggeser cara pandang tersebut. Bukan hari untuk menutup mata dari kenyataan yang tidak nyaman, melainkan kesempatan untuk memperluas pemahaman tentang kasih yang lebih adil. Kasih yang tidak menuntut, tidak melukai, dan tidak menjadikan pengorbanan sebagai alat kendali. Generasi yang sadar akan lukanya memiliki tanggung jawab etis untuk tidak mewariskannya. Kesadaran ini tidak selalu mudah, karena menuntut keberanian untuk belajar, mengoreksi diri, dan pada saat tertentu, meminta maaf. Namun, di situlah letak keibuan yang bijaksana dalam praktik, bukan sekadar dalam citra. Dengan cara itu, Hari Ibu tidak lagi berhenti sebagai perayaan simbolik. Ia menjadi penanda proses panjang menuju relasi yang lebih sehat, setara, dan manusiawi. Sebab, menghormati ibu pada akhirnya bukan hanya tentang mengenang masa lalu, tetapi tentang memastikan masa depan yang lebih baik bagi generasi berikutnya.

Ada (Juga) Luka di Balik Narasi

Di balik narasi perayaan yang rapi, relasi ibu dan anak dalam kehidupan nyata seringkali jauh lebih rumit. Tidak semua hubungan dibangun di atas kehangatan dan rasa aman. Dalam sejumlah kasus, relasi tersebut justru diwarnai ketegangan yang berlangsung lama dan kerap tak terucapkan. Salah satu pola yang muncul adalah penggunaan relasi kuasa dalam pengasuhan, bahkan ketika anak telah memasuki usia dewasa. Atas nama pengalaman, pengorbanan, atau kasih sayang, sebagian ibu tetap merasa berhak mengatur pilihan hidup anak, dari urusan karier hingga relasi personal. Kontrol ini seringkali tidak dikenali sebagai masalah, karena dibungkus dalam bahasa kepedulian.

Alyssa Daguise Hamil Anak Pertama, Al Ghazali Ngidam Nasi Goreng Jam 1 Malam

Dalam konteks masyarakat religius, tekanan tersebut kadang diperkuat oleh istilah moral dan spiritual. Ancaman “durhaka” menjadi batas yang membuat anak sulit bersuara. Kepatuhan lahir bukan dari kedekatan emosional, melainkan dari rasa takut melanggar norma dan nilai yang dianggap sakral. Hubungan pun berjalan timpang: rasa hormat terjaga, tetapi keintiman menghilang.

Para psikolog seperti John Bowlby dan Mary Ainsworth, yang mengembangkan Teori Kelekatan (Attachment Theory), mengungkapkan bahwa relasi yang dibangun di atas rasa takut dan kontrol cenderung melahirkan kepatuhan semu, bukan kelekatan emosional yang sehat. Dominasi juga tidak selalu memerlukan kuasa nyata. Dalam banyak relasi, kendali dipertahankan melalui manipulasi emosi: mudah tersinggung, menyimpan amarah, atau memosisikan diri sebagai pihak yang selalu terluka. Perbedaan pendapat dibaca sebagai pembangkangan, sementara dialog kerap berhenti sebelum benar-benar dimulai.

Kesenjangan pengalaman antargenerasi turut memperumit situasi. Banyak ibu dibesarkan dalam lingkungan dengan pilihan hidup terbatas dan minim ruang dialog emosional. Ketahanan lebih dihargai daripada keterbukaan perasaan. Pola ini kemudian terbawa ke praktik pengasuhan, tanpa selalu disadari dampaknya bagi anak. Penting dicatat, kekerasan dalam relasi keluarga tidak selalu berwujud fisik atau verbal yang kasar. Ia bisa hadir dalam bentuk simbolik dan emosional, rapi, berulang, dan sulit dikenali. Tak sedikit anak baru memahami bahwa relasinya tidak sehat setelah dewasa, ketika bahasa untuk mengenali luka akhirnya tersedia.

Mengakui kenyataan ini bukan berarti meniadakan cinta dan pengorbanan ibu. Namun, memahami konteks juga tidak serta-merta menghapus dampak. Relasi yang melukai tetap meninggalkan jejak, meskipun lahir dari niat yang dianggap baik.