Disleksia, ADHD, dan Meraih Sukses dengan Cara yang Unik
Sejak usia dini, banyak dari kita dibentuk oleh narasi bahwa kesuksesan adalah buah dari kemauan keras dan disiplin yang tak tergoyahkan. Siapa pun yang paling rajin, paling fokus, dan paling gigih, diyakini akan mencapai puncak kesuksesan. Namun, bagi sebagian orang, narasi ini terasa asing dan bahkan kontraproduktif. Penulis, sebagai individu yang hidup dengan disleksia dan ADHD, menemukan bahwa jalan hidupnya sejak masa sekolah justru dipenuhi dengan perjuangan untuk memenuhi standar “ideal” tersebut. Dorongan kuat untuk sukses hadir, namun setiap upaya memaksakan diri agar disiplin seperti orang lain justru menimbulkan rasa rusak, tertinggal, dan tidak memadai.
Memahami ADHD dan Disleksia: Bukan Soal Kemauan, Tapi Fungsi Otak
Keinginan untuk berprestasi bukanlah hal baru bagi individu dengan ADHD. Banyak dari mereka memiliki dorongan yang besar untuk meraih pencapaian, bahkan cenderung memiliki mimpi-mimpi besar. Para ahli, seperti Dr. Russell Barkley, menekankan bahwa ADHD bukanlah gangguan kemauan, melainkan gangguan fungsi eksekutif. Ini berarti kesulitan terletak pada kemampuan otak untuk mengatur fokus, waktu, emosi, dan energi. Dengan kata lain, masalahnya bukan pada kemalasan atau kurangnya niat, melainkan pada cara kerja otak yang berbeda. Pengalaman lapangan yang didapat penulis saat mendampingi anak-anak dan guru di berbagai daerah melalui program “Dyslexia Keliling Nusantara” semakin menguatkan pandangan ini. Anak-anak dengan ADHD dan disleksia sering kali memiliki mimpi besar dan ide-ide cemerlang, namun mereka kerap kali terjatuh karena sistem pembelajaran dan tuntutan hidup yang ada tidak selaras dengan cara kerja otak mereka.
Perjuangan Menemukan Sistem yang Tepat
Masa pertumbuhan penulis diwarnai dengan perasaan selalu “tidak pas”. Membaca terasa lambat, menulis berantakan, sulit untuk duduk tenang, dan mudah teralih perhatiannya. Berbagai upaya dilakukan untuk menutupi kekurangan ini melalui disiplin diri. Bangun lebih pagi, memaksakan diri untuk fokus lebih lama, bahkan menghukum diri sendiri ketika gagal. Hasilnya bukanlah kesuksesan, melainkan kelelahan mental yang mendalam dan penumpukan rasa bersalah. Titik balik datang di usia dewasa, setelah diagnosis disleksia dan ADHD diterima. Saat itulah penulis mulai memahami sebuah kebenaran fundamental: tidak perlu menjadi orang lain untuk berhasil. Yang dibutuhkan adalah sebuah sistem yang bekerja untuk diri sendiri.
Lingkungan Berbasis Kekuatan: Kunci Perkembangan
Penelitian dari Dr. Edward Hallowell, seorang psikiater yang juga hidup dengan ADHD, menunjukkan bahwa individu dengan ADHD cenderung berkembang pesat ketika berada dalam lingkungan yang berfokus pada kekuatan (strength-based), bukan pada kekurangan. Pengamatan di lapangan mengkonfirmasi hal ini secara nyata. Anak-anak yang sebelumnya dianggap “bermasalah” mengalami perubahan drastis ketika para guru berhenti memaksa mereka untuk duduk diam dan mulai memberikan ruang untuk bergerak, elemen visual, cerita, serta makna dalam pembelajaran. Prinsip yang sama juga berlaku dalam kehidupan penulis. Ia berhenti bergantung pada kekuatan kemauan semata dan mulai membangun “lingkungan penolong” yang meliputi:
- Jadwal yang fleksibel.
- Penggunaan pengingat visual.
- Fokus pada pekerjaan yang sesuai dengan minat.
- Pemberian jeda yang manusiawi.
Kesuksesan Versi Diri Sendiri
Kesuksesan yang diraih penulis tidak datang dari daftar tugas yang tertata rapi atau rutinitas yang kaku. Ia lahir dari keberanian untuk menerima bahwa otaknya bekerja dengan cara yang berbeda: sibuk, melompat-lompat, dan unik. Dari penerimaan diri inilah, penulis menemukan cara kerja yang lebih dinamis dan hidup:
- Menulis berdasarkan dorongan hati.
- Mengajar dengan narasi dan cerita.
- Belajar dari pengalaman nyata, bukan sekadar hafalan.
Fakta di lapangan semakin menunjukkan bahwa banyak individu dengan disleksia dan ADHD yang berhasil justru karena mereka berhenti memaksakan diri untuk menjadi “normal” dan mulai mengoptimalkan cara berpikir mereka yang berbeda. Kekuatan mereka dalam berpikir kreatif, intuitif, dan solutif menjadi aset berharga.
Saat ini, penulis masih menjalani hidup dengan disleksia dan ADHD. Tantangan-tantangan yang ada memang tidak hilang, namun makna dari tantangan tersebut telah berubah. Penulis tidak lagi mengejar kesuksesan yang didefinisikan oleh orang lain. Sebaliknya, ia membangun kesuksesan versinya sendiri, yang memungkinkan dirinya untuk memberikan dampak positif, mendampingi anak-anak yang dulu memiliki pengalaman serupa, dan yang terpenting, bisa berdamai dengan diri sendiri.
Pelajaran terpenting yang dapat diambil adalah bahwa kemauan dan disiplin saja tidaklah cukup. Yang benar-benar dibutuhkan adalah pemahaman mendalam, sistem yang tepat guna, dan keberanian untuk mengakui bahwa setiap individu memiliki jalannya sendiri yang mungkin berbeda, namun tetap valid dan berpotensi membawa pada kesuksesan. Sebagaimana diungkapkan oleh Imam Setiawan, “Saya tidak pernah bodoh atau gagal; saya hanya lahir dengan cara belajar yang berbeda. Dan ketika perbedaan itu diterima, di situlah hidup saya mulai menemukan maknanya.”
