UMK 2026 Sukoharjo Terancam Molor Akibat Keterlambatan Regulasi Pusat
Sukoharjo – Dewan Pengupahan Kabupaten Sukoharjo menyuarakan keprihatinan mendalam terkait belum turunnya regulasi resmi dari pemerintah pusat maupun Pemerintah Provinsi Jawa Tengah mengenai penghitungan Upah Minimum Kabupaten (UMK) tahun 2026. Keterlambatan ini berpotensi besar menghambat seluruh proses pembahasan dan penetapan UMK, yang dijadwalkan harus mulai berlaku efektif pada Januari 2026.
Tanpa adanya formula atau acuan resmi yang jelas, proses perumusan angka rekomendasi UMK menjadi tidak efektif dan terkesan berjalan di tempat. Ketua Dewan Pengupahan Sukoharjo, Sigit Hastono, mengungkapkan bahwa ketiadaan formula baku dari Kementerian Ketenagakerjaan membuat pihaknya kesulitan untuk memulai tahapan krusial dalam menentukan besaran UMK.
“Sampai sekarang belum ada formula apapun dari Kementerian. Waktu terus berjalan semakin mepet, sementara dari sisi pekerja maupun pengusaha, semuanya masih menunggu kejelasan regulasi,” ujar Sigit pada Jumat, 12 Desember 2025.
Tantangan Menyamakan Persepsi Tanpa Acuan Jelas
Sigit menjelaskan lebih lanjut bahwa keterlambatan penerbitan regulasi ini tidak hanya menghambat proses penetapan angka, tetapi juga berpotensi memperbesar jurang perbedaan persepsi antara tiga unsur utama dalam dewan pengupahan: perwakilan pemerintah, pengusaha, dan pekerja. Ketiga unsur ini selama ini bekerja keras untuk mencapai kesepakatan mengenai satu angka rekomendasi UMK yang ideal.
“Jika nantinya formula penghitungan yang dikeluarkan melibatkan rentang indeks yang cukup lebar, misalnya dari 0,2 hingga 0,7, atau bahkan 0,9, maka potensi perbedaan sikap akan semakin besar. Pengusaha cenderung akan mengambil ring terendah dalam indeks tersebut, sementara pihak pekerja pasti akan mengincar ring tertinggi. Menyamakan persepsi untuk mencapai satu angka rekomendasi akan menjadi sangat sulit jika regulasinya baru turun terlambat,” papar Sigit.
Meskipun Dewan Pengupahan Sukoharjo berupaya mempersiapkan pembahasan UMK 2026 sedini mungkin, tanpa adanya dasar regulasi yang jelas, proses diskusi yang memakan waktu berisiko tidak akan selesai sesuai dengan batas waktu penetapan. Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran akan dampak negatif terhadap stabilitas ekonomi dan kesejahteraan pekerja di Kabupaten Sukoharjo.
Usulan Kenaikan 8,5 Persen dari Pihak Buruh
Menyikapi kondisi yang semakin mendesak ini, Sigit juga mengungkapkan bahwa kelompok perwakilan buruh di Sukoharjo telah mengajukan usulan kenaikan UMK sebesar kurang lebih 8,5 persen. Angka ini, menurut Sigit, bukanlah kenaikan yang signifikan, melainkan lebih kepada penyesuaian yang didasarkan pada hasil survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL) serta proyeksi kenaikan harga barang dan jasa pada tahun 2026.
“Angka 8,5 persen itu merupakan hasil dari survei lapangan yang kami lakukan. Tujuannya bukan untuk menuntut kenaikan besar, tetapi semata-mata untuk melakukan penyesuaian agar nilai upah tetap relevan dan mampu mengikuti perkembangan harga pasar yang terus bergerak,” jelasnya.
Penyesuaian ini dianggap penting untuk memastikan daya beli pekerja tidak tergerus oleh inflasi dan kenaikan biaya hidup. KHL sendiri merupakan gambaran standar kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh seorang pekerja untuk dapat hidup layak, baik secara individu maupun keluarga, di suatu wilayah.
Harapan Terhadap Pemerintah Provinsi
Dengan semakin menipisnya waktu yang tersedia sebelum batas akhir penetapan UMK 2026, Sigit Hastono menyampaikan harapan besar kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Ia mendesak agar regulasi yang menjadi dasar penghitungan UMK 2026 segera diterbitkan.
“Kami sangat berharap Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dapat segera menerbitkan aturan sebagai dasar penghitungan UMK 2026. Dengan adanya kejelasan regulasi, proses pembahasan UMK ini dapat berjalan sesuai jadwal yang ditentukan dan pada akhirnya dapat menghasilkan keputusan yang adil serta dapat diterima oleh seluruh pihak yang terlibat,” pungkas Sigit.
Keterlambatan regulasi ini menjadi isu krusial yang membutuhkan perhatian serius dari pemerintah di semua tingkatan. Kepastian hukum dan formula yang jelas akan menjadi kunci untuk memastikan proses penetapan UMK berjalan lancar, transparan, dan menghasilkan upah yang layak bagi para pekerja di Kabupaten Sukoharjo.
Proses penetapan UMK biasanya melibatkan dialog intensif antara serikat pekerja, asosiasi pengusaha, dan pemerintah daerah. Kenaikan UMK sendiri umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan KHL. Tanpa adanya formula yang mengikat, negosiasi bisa menjadi alot dan memakan waktu lebih lama, berpotensi menimbulkan ketidakpastian bagi dunia usaha dan para pekerja.
Pihak pengusaha sendiri biasanya akan mempertimbangkan kemampuan perusahaan dalam memberikan kenaikan upah, terutama di tengah fluktuasi kondisi ekonomi. Sementara itu, pekerja akan berjuang untuk memastikan upah mereka dapat mencukupi kebutuhan hidup yang terus meningkat. Jembatan antara kedua kepentingan ini adalah regulasi pemerintah yang memberikan kerangka kerja jelas.
Diharapkan, pemerintah pusat dan provinsi dapat segera memberikan kejelasan agar roda perekonomian di daerah tetap berjalan stabil dan kesejahteraan pekerja dapat terus ditingkatkan melalui penetapan upah minimum yang adil dan proporsional.
