Fenomena “Kokua Kokua” dan “Keku Keku”: Mengurai Misteri “Bahasa Alien” di Jagat Maya
Pernahkah Anda sedang asyik menggulir layar TikTok atau membaca kolom komentar Instagram, lalu tersandung pada frasa aneh yang berbunyi “kokua kokua” atau “keku keku”? Istilah-istilah ini belakangan berseliweran masif, dipakai sebagai reaksi atas video kucing lucu, tingkah bayi menggemaskan, atau momen absurd yang sulit dijelaskan dengan kata-kata baku. Oleh warganet, rangkaian bunyi ini sering kali dilabeli sebagai “bahasa alien”. Pertanyaannya kemudian muncul: Apakah “kokua kokua” dan “keku keku” benar-benar memiliki arti dalam bahasa asing tertentu? Ataukah ini sekadar bunyi-bunyian tanpa makna yang kebetulan disepakati bersama? Fenomena ini menarik karena muncul secara spontan, menyebar cepat tanpa kamus resmi, namun dipahami secara kolektif oleh jutaan pengguna internet. Untuk memahaminya, kita tidak bisa membuka kamus terjemahan biasa. Kita perlu membedah konteks pemakaian, pola bunyi, dan psikologi di balik tren bahasa internet ini.
Mengapa Disebut “Bahasa Alien”?
Label “bahasa alien” yang melekat pada frasa ini sebenarnya muncul karena dua alasan sederhana. Pertama, bunyi “kokua” atau “keku” terdengar tidak lazim dalam percakapan manusia formal sehari-hari. Kedua, penggunaannya di konten video sering kali dilekatkan pada ekspresi wajah yang didramatisir, intonasi suara yang dibuat-buat (seperti suara kartun atau chipmunk), atau gestur tubuh yang kaku, seolah-olah penuturnya adalah karakter fiksi non-manusia.
Di ekosistem TikTok, istilah “bahasa alien” kerap dipakai sebagai candaan (inside joke) untuk mengkategorikan ungkapan-ungkapan yang:
* Tidak memiliki arti harfiah (leksikal).
* Dipahami murni lewat konteks emosi.
* Berfungsi sebagai reaksi spontan yang absurd.
Jadi, “alien” di sini bukan merujuk pada makhluk luar angkasa sungguhan, melainkan metafora warganet untuk menandai bunyi yang unik, aneh, namun menghibur.
Ilmu Linguistik: Menjelaskan Fenomena Bunyi Tanpa Arti
Jika ditelusuri secara akademis, tidak ada catatan resmi yang menyebut “kokua kokua” atau “keku keku” berasal dari bahasa daerah atau negara mana pun. Ungkapan ini lebih tepat dikategorikan sebagai Onomatope atau Pseudo-word (kata semu).
Dikutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), onomatope adalah kata tiruan bunyi atau ekspresi yang mewakili perasaan tertentu. Sama seperti kita menggunakan “haha” untuk tawa, “aduh” untuk sakit, atau “uwu” untuk gemas. “Kokua kokua” adalah rangkaian bunyi yang diciptakan warganet untuk menirukan nuansa perasaan tertentu yang sulit diwakili kata baku. Konsep linguistik ini menjelaskan mengapa frasa tersebut terasa langsung “nyambung” di otak kita meski tidak ada definisinya di kamus.
Makna Kontekstual: Apa yang Sebenarnya Ingin Disampaikan?
Meskipun nihil arti di kamus, “kokua kokua” dan “keku keku” memiliki makna rasa yang cukup konsisten di media sosial. Berdasarkan pengamatan pola interaksi warganet, maknanya cenderung mengarah pada:
- Ekspresi Gemas (Cuteness Overload):
Biasanya dipakai saat melihat sesuatu yang imut, seperti hewan peliharaan atau bayi, di mana kata “lucu banget” dirasa kurang mewakili gejolak perasaan. - Reaksi terhadap Absurditas:
Ketika sebuah video terasa aneh, konyol, tapi menghibur, bunyi ini berfungsi sebagai penanda “aku terhibur dengan keanehan ini”. - Kode Keakraban:
Menggunakan bunyi yang sama menunjukkan bahwa pengguna berada “di dalam lingkaran” (circle) humor yang sama, menciptakan rasa koneksi instan.
Perbedaan “Kokua” vs “Keku”: Nuansa Bunyi
Apakah ada perbedaan arti antara keduanya? Sebenarnya tidak ada perbedaan baku, namun variasi bunyinya memberikan nuansa yang sedikit berbeda:
- “Kokua kokua”:
Terdengar lebih bulat dan panjang. Cenderung dipakai untuk ekspresi gemas yang lembut atau bingung. - “Keku keku”:
Terdengar lebih pendek, tajam, dan ritmis. Sering kali terasa lebih usil, jahil, atau playful.
Ada alasan ilmiah mengapa pseudo-word seperti ini mudah meledak. Dikutip dari pemikiran ahli bahasa David Crystal dalam bukunya Language and the Internet, bahasa di ruang digital sering kali dipakai untuk membangun identitas kelompok. Ungkapan “kokua kokua” mudah ditiru (replikasi), sangat fleksibel untuk berbagai konteks, dan memberikan kepuasan instan bagi penggunanya karena merasa menjadi bagian dari tren global. Sifatnya yang “tanpa aturan” justru menjadi daya tarik utamanya.
