Menuju Sistem Gaji Tunggal ASN: Memperbaiki Kesejahteraan dan Pelayanan Publik
Pemerintah Indonesia saat ini tengah menggodok sebuah kebijakan transformatif dalam sistem penggajian Aparatur Sipil Negara (ASN), yang dikenal sebagai sistem gaji tunggal atau single salary. Inisiatif ini telah secara resmi tertuang dalam Buku II Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (RAPBN) 2026, yang mencakup proyeksi belanja negara untuk periode 2026-2029. Wacana yang telah lama beredar ini kini mendapatkan landasan kuat melalui dokumen negara, menandakan keseriusan pemerintah dalam merealisasikannya.
Konsep dasar dari sistem gaji tunggal ini adalah menyederhanakan komponen penghasilan yang diterima oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Saat ini, ASN menerima gaji yang terbagi dalam berbagai komponen, yang seringkali membuat gambaran utuh penghasilan bulanan menjadi kurang jelas. Komponen-komponen tersebut umumnya meliputi gaji pokok, tunjangan seperti lauk-pauk dan keluarga, serta tunjangan kinerja. Namun, kerumitan belum berhenti di situ, karena tunjangan ini pun memiliki variasi lain, seperti tunjangan khusus jabatan dan tunjangan kemahalan yang disesuaikan dengan lokasi penempatan ASN.
Salah satu motivasi utama di balik rencana penerapan sistem gaji tunggal ini adalah untuk memastikan daya beli ASN tetap terjaga, terutama saat mereka memasuki masa pensiun. Sistem baru ini diharapkan dapat memberikan perlindungan yang lebih komprehensif melalui pemberian asuransi kesehatan, kematian, dan hari tua yang lebih memadai. Kebijakan ini diprediksi akan membawa serangkaian dampak, baik yang bersifat langsung dirasakan oleh para ASN maupun dampak tidak langsung yang akan dirasakan oleh masyarakat luas melalui peningkatan kualitas pelayanan publik.
Dampak Tidak Langsung: Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik
Pakar kebijakan publik dari Universitas Padjadjaran, Yogi Suprayogi, mengemukakan pandangannya bahwa penerapan sistem single salary akan membawa perubahan positif yang signifikan terhadap kualitas pelayanan publik. Dengan sistem penggajian yang lebih terstruktur dan kepastian kesejahteraan yang lebih baik, stabilitas finansial para ASN dapat terjaga. Lebih dari itu, sistem ini akan mendorong pergeseran orientasi kerja dari sekadar pemenuhan administrasi dan proses, menjadi fokus pada hasil kerja yang konkret.
“Kalau sekarang masih basisnya dia harus ngisi absen, jadi aktivitas dia difoto kerjanya gitu kan. Nah, ke depan itu udah enggak boleh lagi kayak gitu, tapi output,” jelas Yogi, menekankan pergeseran paradigma dari sekadar kehadiran fisik menjadi pencapaian hasil. Sistem gaji tunggal akan menjadi insentif bagi ASN untuk lebih berorientasi pada hasil pelayanan publik yang optimal, sehingga penghasilan yang mereka terima setiap bulannya dapat benar-benar mencukupi kebutuhan.
Dampak Langsung: Peningkatan Kesejahteraan dan Fleksibilitas Kerja
Bagi para ASN sendiri, dampak langsung dari kebijakan ini terbagi dalam dua aspek utama: peningkatan kesejahteraan dan cara kerja yang lebih fleksibel. Lina Miftahul Jannah, seorang pakar Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia, membandingkan sistem ini dengan praktik yang sudah berjalan di lingkungan akademis tempatnya mengabdi. Ia mencontohkan bahwa dalam sistem yang mirip, pendapatan tambahan dari kegiatan di luar tugas mengajar, seperti partisipasi dalam kepanitiaan acara kampus, juga dimasukkan sebagai komponen pendapatan.
Sistem ini secara implisit akan menciptakan mekanisme pengawasan kinerja yang lebih efektif. Pimpinan dapat memantau secara objektif, ASN mana yang memiliki beban kerja dan pendapatan yang sesuai, dan mana yang mungkin terlihat kurang produktif. “Kalau dengan single salary system ini, pimpinan bisa memantau oh ini sudah terlalu banyak penghasilannya, pendapatannya dibandingkan yang lain. Jangan-jangan kerjaannya terlalu banyak,” ujar Lina. Dengan demikian, pimpinan dapat menyesuaikan beban kerja agar lebih merata, tidak menumpuk pada individu tertentu, tanpa mengurangi hak pendapatan ASN. Kesejahteraan yang terdistribusi secara adil, seiring dengan pembagian tugas yang merata, akan memberikan dampak positif ganda: peningkatan kesejahteraan bagi seluruh ASN dan distribusi beban kerja yang lebih proporsional.
Sistem gaji tunggal yang berorientasi pada proses dan hasil akan memastikan penilaian kinerja yang lebih adil bagi seluruh ASN di masa depan. Lina menambahkan bahwa sistem ini akan memberikan gambaran yang utuh mengenai total penghasilan ASN, yang selama ini kerap dianggap kecil oleh publik. “Misalnya di setiap tanggal 1 lah, 1 Januari atau 1 Februari gitu kan (gaji) dibayarkan di sana semua, jadi kelihatan tuh bulatannya (semua penghasilan per bulan). Nah, itu yang disebut misalnya akhirnya disebut meningkatkan kesejahteraan karena kelihatan. Nah, kalau yang sekarang kan enggak kelihatan, seakan-akan PNS itu gajinya kecil,” tuturnya. Dengan melihat total pendapatan bulanan secara transparan, persepsi publik mengenai gaji ASN diharapkan akan berubah menjadi lebih positif.
Membuka Peluang Kerja Fleksibel: Work From Anywhere
Lebih jauh lagi, sistem penggajian tunggal ini berpotensi membuka pintu bagi ASN untuk menerapkan model kerja yang lebih fleksibel, termasuk konsep work from anywhere (WFA). Yogi Suprayogi berpendapat bahwa sistem single salary tidak akan lagi terlalu menekankan pada kehadiran fisik atau administrasi semata, melainkan lebih pada hasil kerja yang telah dicapai.
“Oh sangat (membuka peluang), karena bentuknya kan output, jadi kan enggak perlu tadi absen sebagainya,” tegas Yogi. Ia menjelaskan bahwa saat ini, banyak ASN yang terbebani oleh kewajiban administrasi yang belum tentu menjadi tolok ukur yang akurat terhadap penyelesaian tugas. Sistem single salary yang berfokus pada hasil akan memberikan indikator yang lebih jelas mengenai produktivitas setiap ASN, membedakan mereka yang benar-benar bekerja dengan yang hanya hadir di kantor. Dengan dasar penilaian berbasis output, fleksibilitas tempat kerja bagi ASN akan semakin terbuka lebar.
