Home / Bencana Alam / Bencana Sumatera: Menteri LHK Ungkap 3 Pemicu Maut

Bencana Sumatera: Menteri LHK Ungkap 3 Pemicu Maut

Bencana Sumatra: Kombinasi Alam dan Manusia Picu Musibah Ekstrem

Bencana besar yang melanda wilayah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat pada akhir November lalu telah meninggalkan luka mendalam dengan menelan ribuan korban jiwa dan ratusan orang masih dinyatakan hilang. Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, mengungkap bahwa tragedi ini bukanlah hasil dari satu faktor tunggal, melainkan sebuah konvergensi kompleks dari tiga elemen krusial.

“Tiga faktor utama yang saling terkait adalah interaksi antropogenik kita yang seringkali tidak bersahabat dengan alam, kondisi geomorfologi wilayah kita, dan yang terakhir adalah faktor hidrometeorologi yang dipengaruhi oleh perubahan iklim global,” jelas Hanif saat memberikan sambutan pada acara UI GreenMetric Indonesia Awarding 2025 di Muladi Dome, Universitas Diponegoro, pada Selasa, 16 Desember 2025.

Kombinasi ketiga faktor ini, menurut Hanif, telah menciptakan kondisi bahaya ekstrem yang berisiko tinggi menimbulkan korban jiwa. Ia merinci bahwa tingginya curah hujan merupakan salah satu pemicu langsung terjadinya bencana banjir dan longsor yang mengerikan di ketiga provinsi tersebut.

Faktor-Faktor Pemicu Bencana Ekstrem

Hanif memaparkan lebih lanjut bahwa bahaya ekstrem tersebut diperparah oleh sejumlah kondisi yang ada, baik dari sisi infrastruktur maupun kesiapan masyarakat.

BMKG Jambi Waspada Puncak Hujan Meski Bibit Siklon Menjauh

  • Curah Hujan Ekstrem: Peningkatan intensitas dan frekuensi hujan lebat menjadi pemicu langsung terhadap terjadinya banjir bandang dan tanah longsor. Fenomena ini semakin diperburuk oleh perubahan pola cuaca global yang tidak menentu.

  • Infrastruktur yang Rentan: Ketiadaan atau ketidaksesuaian infrastruktur dengan kondisi alam turut berkontribusi signifikan. Pembangunan yang tidak memperhatikan aspek lingkungan, seperti sistem drainase yang buruk atau konstruksi yang tidak kuat menghadapi tekanan alam, membuat wilayah lebih rentan terhadap dampak bencana.

  • Kurangnya Kesiapsiagaan Masyarakat: Tingkat kesiapan masyarakat dalam menghadapi situasi bencana masih perlu ditingkatkan. Kurangnya pemahaman mengenai risiko, minimnya latihan evakuasi, serta lambatnya respons dalam menghadapi peringatan dini menjadi kendala dalam mitigasi korban jiwa.

  • Pola Permukiman yang Berisiko: Budaya masyarakat yang masih banyak memilih bermukim di daerah-daerah yang secara inheren memiliki risiko tinggi bencana menjadi sorotan penting. Permukiman di bantaran sungai yang rentan terendam banjir, serta pemukiman di lereng bukit yang rawan longsor, merupakan contoh nyata dari kerentanan ini. “Budaya bangsa kita yang masih hidup di daerah-daerah rawan bencana seperti di sungai dan di tebing-tebing bukit. Ini semua yang harus kita dalami hari ini,” tegas Hanif.

Analisis Mendalam dari Berbagai Aspek

Hanif Faisol Nurofiq juga menguraikan analisisnya dari perspektif geomorfologi dan hidrometeorologi yang semakin memperjelas kerentanan wilayah Sumatra.

Gempa Jepang 2024: Bukan 2025

Aspek Geomorfologi:
Dari sisi geomorfologi, kondisi geografis Sumatra bagian Utara saat ini dilaporkan tidak stabil. Ketidakstabilan ini diperparah oleh aktivitas manusia.
* Deforestasi Masif: Praktik deforestasi yang telah berlangsung secara luas diakui sebagai salah satu penyebab utama ketidakstabilan tanah. Hilangnya tutupan hutan mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air dan menahan erosi, sehingga meningkatkan risiko longsor.
* Perubahan Bentang Alam: Perubahan bentang alam akibat aktivitas manusia, seperti pembukaan lahan untuk perkebunan atau permukiman tanpa perencanaan yang matang, juga berkontribusi pada degradasi lingkungan dan peningkatan kerentanan.

Aspek Hidrometeorologi:
Faktor hidrometeorologi, yang berkaitan dengan cuaca dan iklim, juga menjadi perhatian serius. Hanif menyoroti fenomena siklon atau topan yang kini mulai teramati di daerah lintang rendah, termasuk Indonesia, yang secara historis jarang terjadi.
* Dampak Perubahan Iklim Global: Sebagai negara yang berada di daerah tropis dan merupakan negara kepulauan, Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim global. Perubahan pola cuaca ekstrem, seperti peningkatan suhu global, perubahan pola curah hujan, dan kenaikan permukaan air laut, semakin memperbesar risiko bencana.
* Ancaman Siklon Tropis: Munculnya siklon tropis di wilayah yang sebelumnya tidak pernah terdampak menunjukkan adanya pergeseran pola cuaca global yang signifikan, yang secara langsung mengancam wilayah kepulauan seperti Indonesia.

Langkah Strategis Menuju Mitigasi Jangka Panjang

Hanif menegaskan bahwa situasi bencana yang terjadi di Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh harus menjadi momentum penting untuk melakukan refleksi mendalam mengenai akar penyebab masalah. Ia menyatakan bahwa Kementerian Lingkungan Hidup telah mengambil langkah konkret untuk mengatasi persoalan ini.

“Inilah yang kemudian mengharuskan kami diskusi dengan teman-teman universitas untuk mengkaji ulang kajian lingkungan hidup strategis, sebagai landasan penyusunan tata ruang di provinsi ketiga provinsi tersebut,” ungkapnya.

Kajian lingkungan hidup strategis ini diharapkan dapat menjadi dasar yang kuat dalam penyusunan kebijakan tata ruang yang lebih berpihak pada kelestarian lingkungan dan mitigasi bencana di ketiga provinsi tersebut. “Kami sudah memberikan keputusan menteri untuk melakukan evaluasi pada tiga provinsi tersebut,” tambahnya, menandakan komitmen pemerintah untuk melakukan perbaikan sistemik dalam pengelolaan lingkungan dan penanggulangan bencana.

Banjir Gaza: Tenda Pengungsian dan RS Terendam