Home / Trending / Perceraian Senja: Misteri “Gray Divorce”

Perceraian Senja: Misteri “Gray Divorce”

Pengadilan Agama Bandung telah mengonfirmasi adanya gugatan cerai yang diajukan oleh Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dari Fraksi Partai Golkar, Atalia Praratya, terhadap suaminya yang juga mantan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil. Panitera Pengadilan Agama Bandung, Dede Supriadi, membenarkan bahwa perkara gugatan cerai ini telah resmi terdaftar dan saat ini tengah memasuki fase awal persidangan. Sidang perdana dijadwalkan akan digelar dalam minggu ini.

Meskipun gugatan cerai ini diajukan melalui kuasa hukum Atalia Praratya, baik materi gugatan maupun nomor perkara masih dijaga kerahasiaannya oleh pihak pengadilan.

Fenomena Perceraian di Usia Senja: Mengenal Grey Divorce

Kasus perceraian yang melibatkan tokoh publik ini sontak menjadi sorotan publik, terutama karena dikaitkan dengan sebuah fenomena yang dikenal sebagai grey divorce atau grey divorce. Istilah ini merujuk pada perceraian yang terjadi pada pasangan yang berusia 50 tahun ke atas, atau yang telah menjalani bahtera rumah tangga dalam jangka waktu yang sangat panjang. Fenomena ini sering kali mencerminkan dinamika psikologis dan emosional yang kompleks, di mana salah satu atau kedua belah pihak mulai mencari pemenuhan diri dan kebahagiaan di usia senja, terutama setelah peran mereka sebagai orang tua mulai berkurang dan jarak emosional di antara mereka semakin terasa.

Psikolog Danti Wulan Manunggal dari Ibunda.id menjelaskan bahwa grey divorce bukan sekadar perpisahan fisik, melainkan sebuah refleksi dari kebutuhan mendalam individu untuk menemukan kembali kebahagiaan dan makna hidup di usia lanjut. Fenomena ini muncul dari interaksi kompleks antara perubahan tahapan kehidupan, pergeseran identitas individu, serta akumulasi dinamika hubungan yang telah terjalin selama bertahun-tahun.

Faktor-Faktor Pemicu Psikologis di Balik Grey Divorce

Danti Wulan menyoroti beberapa faktor psikologis utama yang kerap menjadi pemicu terjadinya grey divorce:

Biaya Kuliah ITB Jalur SSU: Ganti Seleksi Mandiri

  1. Sindrom Sarang Kosong dan Penilaian Ulang Identitas
    Ketika anak-anak telah beranjak dewasa dan meninggalkan rumah, banyak pasangan mendapati diri mereka kembali hanya berdua. Peran utama sebagai orang tua yang telah dijalani bertahun-tahun tiba-tiba menghilang, menciptakan perasaan hampa dan terasing. Kondisi ini seringkali memicu sindrom sarang kosong, di mana pasangan merasa seperti dua orang asing yang hidup berdampingan tanpa kedekatan emosional yang berarti. Hilangnya peran penting ini dapat menimbulkan krisis identitas dan memicu pertanyaan eksistensial mengenai makna dan tujuan hidup di fase kehidupan selanjutnya.

  2. Harapan Hidup yang Lebih Panjang dan Keinginan Menjalani “Hidup Kedua”
    Dengan kemajuan di bidang kesehatan dan gaya hidup, harapan hidup manusia semakin meningkat. Individu yang berusia 50-an hingga 60-an kini memiliki prospek hidup yang masih panjang, bahkan bisa mencapai 20 hingga 30 tahun ke depan. Kesadaran akan sisa waktu yang masih ada ini mendorong mereka untuk mulai menilai ulang nilai-nilai dan tujuan hidup mereka. Banyak yang kemudian memilih untuk mengejar kebahagiaan dan pemenuhan diri yang lebih otentik, daripada sekadar mempertahankan stabilitas pernikahan atau memenuhi kewajiban sosial. Makna pernikahan pun bergeser, dari sekadar wadah untuk membangun keluarga, menjadi ruang untuk pertumbuhan pribadi dan pencarian kepuasan hidup.

  3. Komunikasi yang Buruk dan Konflik yang Terpendam
    Dalam banyak kasus, pasangan yang akhirnya bercerai di usia senja telah lama menyimpan konflik dan ketidakpuasan. Demi anak-anak, menjaga citra sosial, atau menghindari keributan, banyak pasangan memilih untuk menahan dan memendam masalah selama bertahun-tahun. Namun, konflik yang tidak terselesaikan ini secara perlahan mengikis kedekatan emosional dan keintiman di antara mereka. Secara lahiriah, mereka mungkin tampak harmonis, namun secara emosional, mereka sudah lama terpisah jauh. Kondisi ini seringkali digambarkan sebagai “perceraian batin” yang mendahului perceraian fisik.

Secara psikologis, grey divorce dapat dipandang sebagai bentuk penemuan diri yang tertunda. Berakhirnya peran sebagai orang tua, ditambah dengan kesadaran akan sisa hidup yang masih panjang, mendorong individu untuk mencari dan mengejar pemenuhan diri yang lebih otentik dan sesuai dengan jati diri mereka yang sebenarnya. Fenomena ini bukanlah sekadar akhir dari sebuah hubungan, melainkan sebuah manifestasi dari pencarian kehidupan yang lebih bermakna di usia senja.

Lembah Anai Dibuka Kembali Pasca Banjir