Praktik korupsi di sektor keagamaan memiliki dampak yang jauh lebih merusak dan meluas dibandingkan sektor lainnya. Tak hanya menggerogoti keuangan negara, korupsi di bidang ini juga secara fundamental merusak moralitas umat beragama dan mengikis kepercayaan publik terhadap institusi keagamaan itu sendiri. Pernyataan tegas ini disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ibnu Basuki Widodo, dalam sebuah Rapat Kerja Nasional (Rakernas) yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama (Kemenag).
Dalam forum yang bertemakan “Mempersiapkan Umat Masa Depan” ini, Ibnu Basuki Widodo secara spesifik menekankan bahwa upaya pencegahan korupsi di sektor keagamaan bukan sekadar sebuah kewajiban moral semata. Lebih dari itu, ia menegaskan bahwa ini adalah sebuah upaya sistematis yang fundamental dalam membangun tata kelola yang bersih, transparan, dan berintegritas. “Di sektor keagamaan, dampak korupsi jauh lebih besar karena menyangkut moralitas umat,” ujar Ibnu Basuki Widodo, menggarisbawahi betapa sensitifnya isu ini.
Kerentanan Sektor Keagamaan Terhadap Korupsi
Analisis mendalam dari data penindakan yang dilakukan oleh KPK sejak tahun 2004 hingga triwulan ketiga tahun 2025, menunjukkan pola perkara korupsi yang sangat mengkhawatirkan di sektor keagamaan. Dari total 1.750 perkara yang ditangani, mayoritas kasus, yaitu sebesar 61,6 persen, melibatkan praktik suap dan gratifikasi. Sementara itu, pengadaan barang dan jasa (PBJ) menempati posisi kedua dengan mencatatkan 445 perkara, atau sekitar 25,4 persen dari keseluruhan kasus.
Ibnu Basuki Widodo menilai bahwa pengadaan barang dan jasa masih menjadi titik kerentanan yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh lemahnya pengelolaan anggaran serta proses pengadaan yang kerap kali tidak transparan dan akuntabel di berbagai instansi pemerintah, termasuk di lingkungan sektor keagamaan. “Pengadaan barang dan jasa adalah area paling rentan. Ini harus dikoreksi dari atas sampai bawah,” tegasnya, menekankan perlunya perbaikan struktural.
Selain itu, KPK juga menyoroti praktik gratifikasi yang sering kali dibungkus rapi sebagai bagian dari budaya atau sebagai bentuk tanda terima kasih yang tulus. Menurut Ibnu Basuki Widodo, normalisasi pemberian semacam ini sangat berbahaya karena dapat secara perlahan menumpulkan kepekaan etika para aparatur sipil negara, membuat mereka terbiasa dengan pemberian yang tidak semestinya. “Hindari berbagai pemberian. Jangan sampai tergelincir karena tekanan atau pembenaran yang keliru,” pesannya dengan tegas.
Memahami Akar Pemicu Korupsi
Untuk memahami akar permasalahan korupsi, Ibnu Basuki Widodo mengacu pada teori fraud pentagon, yang mengidentifikasi lima elemen utama yang memicu terjadinya korupsi: tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), kemampuan (capability), keserakahan (arrogance), dan pembenaran (rationalization). Dalam konteks sektor keagamaan, tekanan dari keluarga, atau dalih-dalih seperti budaya memberi hadiah, gaji yang kecil, atau sekadar ucapan terima kasih, sering kali menjadi pemicu yang tidak disadari yang dapat menjerumuskan individu ke dalam tindakan koruptif.
“Budaya memberi hadiah tidak boleh menjadi alasan untuk melanggar hukum. Integritas harus menjadi pegangan utama,” urai Ibnu Basuki Widodo, menekankan pentingnya prinsip integritas sebagai benteng pertahanan utama.
Strategi Trisula Pencegahan Korupsi di Lingkungan Kemenag
Sebagai langkah konkret untuk memberantas korupsi di lingkungan Kementerian Agama, KPK mendorong penerapan Strategi Trisula Pencegahan Korupsi. Strategi ini terdiri dari tiga pilar utama:
Pilar Pendidikan: Fokus pada pembentukan karakter dan integritas sejak dini. Upaya ini dilakukan melalui berbagai jejaring pendidikan, baik formal maupun informal, mulai dari tingkat Raudhatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah Aliyah (MA), hingga jenjang perguruan tinggi agama Islam. Saat ini, Pendidikan Antikorupsi telah berhasil diterapkan di lebih dari 1.000 madrasah dan 691 perguruan tinggi agama Islam, menunjukkan komitmen Kemenag dalam menanamkan nilai-nilai kejujuran sejak dini.
Pilar Pencegahan: Pilar ini diarahkan pada perbaikan sistem tata kelola secara menyeluruh. Langkah-langkah yang diambil meliputi penguatan regulasi yang lebih tegas, peningkatan transparansi dalam setiap proses, serta penguatan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran dan pengadaan barang dan jasa. Tujuannya adalah menutup celah-celah yang dapat dimanfaatkan untuk melakukan korupsi.
Pilar Penindakan: Pilar ini berfungsi sebagai penopang terakhir dalam upaya pencegahan korupsi. Tujuannya adalah untuk memastikan adanya efek jera bagi para pelaku korupsi, sehingga dapat mencegah terjadinya pelanggaran serupa di masa mendatang.
Sinergi KPK dan Kemenag
Untuk memperkuat komitmen bersama dalam memberantas korupsi, KPK dan Kemenag telah menjalin sinergi yang lebih erat melalui penandatanganan Nota Kesepahaman Pencegahan Korupsi melalui Pendidikan yang berlaku untuk periode 2023–2028. Implementasi dari nota kesepahaman ini mencakup berbagai program strategis, antara lain:
- Pelaksanaan e-Learning Gratifikasi yang ditargetkan bagi 3.000 Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Kemenag.
- Penyelenggaraan Safari Keagamaan Antikorupsi di delapan kantor wilayah Kemenag untuk menyebarkan kesadaran antikorupsi.
- Pemberian penghargaan kepada para penyuluh antikorupsi yang berdedikasi di lingkungan madrasah, sebagai bentuk apresiasi dan motivasi.
Lebih lanjut, Ibnu Basuki Widodo menegaskan bahwa integritas bukan sekadar konsep abstrak, melainkan merupakan fondasi utama yang akan menentukan masa depan umat. “Masa depan umat tidak terwujud tanpa integritas. Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi dosa sosial perusak martabat manusia,” pungkasnya, menutup pidatonya dengan sebuah pernyataan yang menggugah kesadaran akan pentingnya menjaga nilai-nilai luhur dalam setiap aspek kehidupan, terutama di sektor yang bersentuhan langsung dengan spiritualitas dan moralitas masyarakat.
