Selama seperempat abad terakhir, perekonomian Indonesia terjebak dalam pertumbuhan yang stagnan di kisaran 5%, sebuah level yang tidak memadai untuk lepas dari status negara berpenghasilan menengah. Akar masalahnya terletak pada ketergantungan yang mendalam pada sektor bernilai tambah rendah dan produktivitas yang terbatas. Untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045, diperlukan akselerasi pertumbuhan ekonomi ke kisaran 6-8% dalam lima tahun ke depan, sembari memitigasi risiko “transisi setengah jalan” yang timbul dari inisiatif terfragmentasi tanpa koordinasi nasional yang kuat. Dalam konteks ini, carbon finance muncul bukan sebagai pilihan alternatif, melainkan sebagai instrumen strategis yang memiliki potensi ganda: mengakselerasi transisi hijau sekaligus menjadi mesin pertumbuhan ekonomi baru.
Akselerasi Pertumbuhan Inklusif dan Berkelanjutan Melalui Carbon Finance
Pada intinya, carbon finance merepresentasikan sebuah terobosan paradigma ekonomi yang mengubah upaya konservasi lingkungan dan pengurangan emisi menjadi aset keuangan yang likuid. Mekanisme ini memberikan nilai moneter pada setiap ton karbon dioksida yang berhasil dicegah atau diserap dari atmosfer. Nilai ini kemudian dikemas menjadi kredit karbon, sebuah komoditas baru yang permintaannya terus meningkat di pasar global.
Aktivitas yang sebelumnya dianggap sebagai beban biaya atau sekadar kewajiban moral—seperti restorasi hutan, rehabilitasi lahan gambut, atau transisi menuju energi terbarukan—kini bertransformasi menjadi sumber pendapatan yang layak. Sektor swasta, mulai dari korporasi multinasional hingga Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM), dapat mengakses pendanaan ini melalui pengembangan proyek-proyek yang terverifikasi. Dengan demikian, carbon finance berfungsi sebagai insentif finansial langsung yang mendorong inovasi hijau dan investasi berkelanjutan dalam skala yang sebelumnya sulit dicapai.
Revolusi Kualitas di Pasar Karbon Global
Tren global saat ini menunjukkan pergeseran fundamental dalam pasar karbon, di mana integritas kini menjadi penggerak nilai utama. Data terbaru dari Sylvera mengungkapkan bahwa harga kredit karbon berkualitas tinggi telah mencapai rekor pada kuartal ketiga 2025. Kredit yang berasal dari aktivitas afforestation, reforestation, dan revegetation (ARR) bahkan mencapai US$24 per ton, melonjak signifikan dari rata-rata US$14 di awal tahun.
Fenomena ini mencerminkan perubahan pola pikir di kalangan pembeli korporat. Perusahaan-perusahaan global tidak lagi sekadar membeli kredit karbon untuk memenuhi komitmen tanpa pandang bulu. Mereka kini secara selektif mencari proyek-proyek yang mampu membuktikan dampak nyata dan hasil yang terukur. Statistik menunjukkan bahwa 57% kredit karbon yang “diretire” pada paruh pertama 2025 memiliki peringkat BB atau lebih tinggi, sebuah peningkatan dari 52% pada tahun 2024. Ini menandakan pergerakan yang jelas menuju kredit berkualitas tinggi yang dapat dipertahankan secara publik untuk mendukung pencapaian tujuan net-zero.
Sementara permintaan terus meningkat—dengan total retirement kredit mencapai 128,15 juta secara year-to-date, salah satu angka tertinggi yang pernah tercatat—pasokan justru menunjukkan perlambatan. Issuance kredit turun menjadi 63,2 juta pada kuartal III, dibandingkan dengan 76,9 juta pada kuartal II. Kondisi pasar yang ketat ini, di mana permintaan melampaui pasokan baru, menciptakan lingkungan yang ideal bagi para pemain yang menawarkan kredit berkualitas tinggi untuk memperoleh premi harga yang signifikan.
Pasar global semakin membedakan antara kredit karbon avoidance (penghindaran emisi) dan removal (penghilangan karbon). Kredit removal, seperti yang dihasilkan dari teknologi direct air capture (penangkapan udara langsung) yang dikembangkan Climeworks di Islandia, dapat diperdagangkan pada kisaran US$170-500 per ton karena sifat permanennya. Sementara itu, kredit berbasis alam (nature-based) seperti konservasi hutan umumnya berada di kisaran US$7-24 per ton.
Pembagian ini sangat penting bagi strategi Indonesia. Dengan potensi besar dalam bidang karbon biru, restorasi lahan gambut, dan rehabilitasi hutan, Indonesia dapat mengembangkan portofolio kredit karbon yang beragam. Portofolio ini dapat mencakup kredit berbasis alam dengan manfaat tambahan bagi keanekaragaman hayati, hingga proyek-proyek removal yang memiliki nilai lebih tinggi. Pasar sukarela global, yang diperkirakan akan tumbuh dari US$4,04 miliar pada tahun 2024 menjadi US$50-100 miliar pada tahun 2030, memberikan ruang yang cukup bagi Indonesia untuk memposisikan diri sebagai pemain kunci.
Menciptakan Ekosistem Ekonomi Karbon yang Terintegrasi
Lanskap kebijakan iklim global saat ini sedang mengalami konsolidasi yang signifikan. Di satu sisi, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Persetujuan Paris telah membangun kerangka aturan utama, termasuk persetujuan metodologi pertama di bawah Pasal 6.4 (Paris Agreement Crediting Mechanism). Sistem ini dirancang untuk menciptakan standar global yang kredibel dengan mengatasi kelemahan pasar karbon sebelumnya melalui pencegahan double-counting dan peningkatan transparansi.
Di sisi lain, Uni Eropa meluncurkan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM), sebuah instrumen kebijakan perdagangan yang berfungsi untuk menyetarakan kondisi persaingan antara produsen domestik dan importir. Analisis terbaru menunjukkan bahwa meskipun dampak finansial langsung CBAM terhadap mitra dagang relatif terbatas, efek strategisnya justru lebih menonjol. Mekanisme ini mendorong negara-negara pengekspor untuk mengadopsi atau memperkuat sistem harga karbon domestik mereka sendiri.
Konvergensi kedua kekuatan global ini menciptakan sebuah ekosistem di mana karbon memiliki nilai ekonomi yang terinternalisasi dalam sistem perdagangan dan produksi. Bagi Indonesia, situasi ini bukan sekadar tekanan eksternal, melainkan sebuah window of opportunity untuk melakukan restrukturisasi ekonomi secara fundamental.
Infrastruktur Regulasi Domestik yang Mendukung
Potensi Indonesia di bidang carbon finance sangatlah besar, mencakup kekayaan hutan tropis, lahan gambut, hingga karbon biru di wilayah pesisir. Estimasi potensi pasokan kredit karbon dari sumber-sumber ini mencapai 577 juta ton CO2e. Namun, potensi besar ini selama ini terbentur pada kurangnya infrastruktur regulasi yang memadai untuk memfasilitasi pengakuan dan perdagangan kredit karbon di tingkat global.
Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025 tentang Nilai Ekonomi Karbon (NEK) hadir sebagai respons transformatif terhadap kesenjangan ini, membawa tiga perubahan fundamental:
- Penyelarasan Kebijakan Karbon dengan Pondasi Ekonomi: Perpres ini menempatkan pertumbuhan hijau di pusat perencanaan karbon Indonesia, menyelaraskan kebijakan karbon dengan aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Kerangka ini menetapkan komponen inti seperti Alokasi Karbon, Batas Atas Emisi, dan Kuota Emisi, sehingga menciptakan landasan bagi pasar karbon yang transparan dan akuntabel.
- Penyederhanaan Proses Bisnis untuk Mekanisme Offset: Regulasi ini menyederhanakan proses bisnis untuk mekanisme offset dengan mengakui standar dan metodologi internasional yang kredibel. Pengakuan langsung terhadap unit karbon yang disertifikasi oleh Independent Crediting Program (ICP) internasional—sebagai alternatif di samping Sertifikasi Nasional (yang disebut juga SPE-GRK)—memberikan fleksibilitas sekaligus menjamin integritas tinggi. Mekanisme ini memungkinkan perdagangan offset sepanjang tahun dengan proses yang berintegritas, di mana unit karbon hasil proyek mitigasi dapat dihitung untuk pencapaian NDC (Nationally Determined Contribution).
- Kerangka Tata Kelola yang Tepat Guna: Perpres ini membangun kerangka tata kelola yang efektif melalui desentralisasi implementasi NEK dengan pembagian peran yang jelas. Kementerian sektor memiliki kewenangan untuk menyetujui proyek mitigasi dalam lingkup mereka, sementara Kementerian Lingkungan Hidup memegang kewenangan atas pencapaian NDC. Sistem Registri Unit Karbon (SRUK) dibentuk untuk memastikan bahwa seluruh transaksi bersifat transparan, dapat ditelusuri, dan interoperable dengan sistem registri internasional.
Dengan infrastruktur regulasi yang kokoh ini, Indonesia tidak hanya mampu memposisikan diri sebagai pemain yang andal di pasar karbon global—dengan potensi menarik investasi senilai US$5,8 miliar—tetapi juga membangun dasar yang kuat bagi industrialisasi hijau yang kompetitif. Integrasi registri dan pengakuan standar internasional memfasilitasi akses pasar yang lebih luas, sementara kewenangan sektoral yang jelas memastikan implementasi yang efektif di tingkat operasional.
Transisi menuju ekonomi hijau memerlukan koordinasi kebijakan yang komprehensif. Instrumen fiskal, regulasi sektor keuangan, dan kebijakan industri perlu terintegrasi untuk menciptakan sinergi yang mendorong transformasi struktural. Kebijakan mikroprudensial dan makroprudensial dari Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia telah mengarahkan aliran modal ke aktivitas ramah lingkungan. Langkah ini perlu diperkuat dengan insentif fiskal yang mendorong investasi hijau dan disinsentif bagi aktivitas ekonomi yang merusak lingkungan.
Carbon finance merepresentasikan lebih dari sekadar komitmen iklim—ini adalah strategi pembangunan yang cerdas untuk keluar dari middle-income trap. Dengan memanfaatkan arus pendanaan iklim global dan membangun infrastruktur pendukung yang tepat melalui Perpres 110/2025, Indonesia dapat mengakselerasi transisi menuju ekonomi hijau yang produktif, kompetitif, dan inklusif.
Seperti dikemukakan Allister Furey, CEO Sylvera: “The growing premium for high-quality credits demonstrates that integrity is now a key driver of value.” Pernyataan ini mencerminkan peluang emas bagi Indonesia. Dengan potensi alam yang besar dan kerangka regulasi yang kini memenuhi standar integritas tertinggi, Indonesia tidak hanya dapat berpartisipasi dalam pasar karbon global, tetapi juga memimpin dalam era baru di mana kualitas mengalahkan kuantitas.
Tepatnya, carbon finance bukanlah tujuan akhir, melainkan instrumen krusial untuk mencapai transformasi struktural ekonomi Indonesia menuju kemakmuran jangka panjang dan berkelanjutan—fondasi esensial bagi terwujudnya Indonesia Emas 2045. Dalam ekonomi global yang semakin menghargai aksi iklim yang nyata, Indonesia memiliki semua aset yang diperlukan untuk bertransformasi dari sekadar pengekspor komoditas tradisional menjadi pemasok solusi iklim berkualitas tinggi.
