Home / Human Interest / Ibu, Maaf Terlambat Ingat, Terlalu Cepat Pergi

Ibu, Maaf Terlambat Ingat, Terlalu Cepat Pergi

Pagi itu, notifikasi WhatsApp yang muncul lebih dulu berasal dari ibu. Pesannya singkat, tanpa embel-embel, hanya sebuah ucapan: “Selamat Hari Ibu.” Saya membacanya sedikit lebih lama dari biasanya, bukan semata-mata karena terharu, tetapi karena sebuah kesadaran yang terasa cukup menusuk. Saya terlambat menyadarinya.

Jam masih menunjukkan pagi. Anak-anak belum bangun, kopi pun belum tersentuh. Tidak ada alasan kuat yang bisa saya gunakan, tidak ada kesibukan mendesak yang melanda. Namun, ucapan yang seharusnya datang dari saya, justru lebih dulu ia kirimkan. Seperti biasa, ibu selalu memberi lebih dulu, bahkan pada hari yang seharusnya menjadi perayaan dirinya.

Saya memandangi layar ponsel untuk beberapa saat. Pesan itu tidak panjang, tidak berbunga-bunga, dan tidak menyebutkan apa pun tentang dirinya. Tidak ada keluhan, tidak ada pengingat halus. Hanya sebuah ucapan yang seharusnya ia terima, namun justru ia kirimkan. Dari seorang ibu kepada anaknya. Dari seseorang yang sepanjang hidupnya lebih sering memberi daripada menerima.

Ibu, Usia, dan Rumah yang Tak Pernah Sepi

Ibu saya kini berusia 71 tahun. Beliau memiliki tiga orang anak. Ayah telah lama berpulang, meninggalkan ibu sendiri di Bandung. Anak sulung tinggal di Cimahi, anak kedua masih di Bandung, sementara saya, anak ketiga, berada di Jakarta. Kami semua tersebar, menjalani hidup masing-masing dengan ritme dan prioritas yang berbeda.

Rumah ibu memang terkesan tenang, namun tidak benar-benar diam. Di balik kesunyian itu, ibu tetap menjalani hari-harinya dengan berbagai aktivitas. Ia masih aktif mengikuti kelompok bermain angklung, terlibat dalam kegiatan pelayanan di lingkungannya, dan selalu berangkat pagi dengan semangat yang utuh. Terkadang ia berjalan kaki, terkadang naik angkot, dengan tas kecil di tangan dan tujuan yang jelas. Ia tidak pernah menunggu dijemput, tidak menunggu ditemani. Ia memilih untuk terus bergerak.

Ucapan Hari Ibu: Sentuhan Hati untuk Bunda Tercinta

Lansia Aktif dan Pilihan untuk Tetap Hadir

Apa yang dilakukan ibu bukanlah sebuah kebetulan. Banyak lansia memilih untuk tetap aktif sebagai cara mereka menjaga kewarasan dan makna hidup. Aktivitas sosial memberikan rasa berguna, memberikan ritme pada kehidupan, dan memberikan alasan untuk bangun di pagi hari.

Dalam kajian gerontologi, keterlibatan sosial lansia dikenal sebagai faktor penting untuk menjaga kesehatan mental dan fungsi kognitif. Lansia yang aktif dalam komunitas cenderung lebih resilien, lebih percaya diri, dan lebih jarang merasa terasing. Ibu mungkin tidak menyebutnya dengan istilah ilmiah, ia hanya berkata, “Kalau di rumah terus, badan suka pegal dan pikiran ke mana-mana.” Kalimat sederhana itu sarat makna, menunjukkan betapa pentingnya menjaga diri tetap aktif.

Anak-Anak Dewasa dan Kesibukan yang Menyamar

Kami bukanlah anak durhaka. Kami bekerja, kami berkeluarga, dan kami merasa tetap peduli. Namun, jarak sering kali menyamar sebagai kesibukan. Telepon sering ditunda dengan alasan “nanti,” dan kepulangan ke rumah sering kali tertunda karena waktu yang terasa tidak pernah tepat. Ucapan kasih sayang terasa cukup tersampaikan melalui pesan singkat atau sekadar sapaan di grup keluarga. Padahal, perhatian bukanlah soal durasi, melainkan soal kesadaran. Menjadi anak dewasa bukan berarti lulus dari tanggung jawab emosional. Justru di fase ini, kehadiran kita diuji secara diam-diam, bukan oleh jarak fisik, melainkan oleh kemauan untuk tetap peduli secara utuh.

Ketika Ibu Selalu Memberi Lebih Dulu

Pagi itu, saya membayangkan ibu bangun lebih cepat dari biasanya. Mengambil ponselnya perlahan, mengetik dengan jari yang tak lagi selincah dulu. Mungkin ia sempat berhenti sejenak, memastikan tulisannya benar, lalu mengirimkan pesan penuh kasih itu. Tanpa menuntut, tanpa menagih balasan, tanpa menyebut usia atau kelelahannya. Di satu sisi, ia mandiri. Di sisi lain, ia tetaplah seorang ibu.

Data, Kesepian, dan Pendidikan Empati

Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2023 menunjukkan bahwa 11,75 persen penduduk Indonesia adalah lansia. Sebagian besar dari mereka hidup terpisah dari anak-anaknya, dan tidak sedikit yang menjalani hari-hari tanpa pasangan. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan realitas keluarga urban yang sering kali kita normalisasi.

Dian Sastro: Ibu di Era Digital

Sebuah studi dari Kementerian Kesehatan menunjukkan bahwa lansia yang tinggal sendiri berisiko lebih tinggi mengalami kesepian dan gangguan kesehatan mental. Namun, pengalaman ibu saya menunjukkan sisi lain. Bahwa kesendirian tidak selalu identik dengan keterasingan, selama ada aktivitas, relasi sosial, dan rasa bermakna. Di sinilah pendidikan empati diuji, bukan dengan mengasihani, melainkan dengan memahami. Bukan dengan melarang ibu bergerak, melainkan mendukung kemandiriannya dengan perhatian yang sadar.

Setelah Ayah Pergi, Ibu Menjadi Poros

Sejak ayah meninggal, ada perubahan yang pelan namun pasti. Ibu tidak lagi sekadar menjadi seorang ibu. Ia menjadi poros keluarga, tempat semua kabar berlabuh, tempat semua rindu dititipkan, meski jarang diucapkan. Ia jarang membicarakan kehilangan, tidak pernah mengeluh soal sepi. Justru ia lebih sering menguatkan kami, anak-anaknya. Bertanya hal-hal sederhana seperti, “Kamu sehat?” atau “Kapan pulang?” Kalimat pendek itu selalu datang tanpa jeda panjang, seolah ia memastikan ikatan tetap terjaga, meskipun jarak memanjang.

Sering kali, pertanyaan itu saya jawab singkat, kadang sambil lalu, kadang sambil mengerjakan hal lain. Baru belakangan saya sadar, itulah caranya menjaga keluarga tetap utuh. Bukan dengan menuntut kehadiran, melainkan dengan mengingatkan bahwa kami masih saling terhubung. Dalam diamnya, ibu belajar berdiri sendiri. Dalam kesunyiannya, ia memilih untuk tetap memberi. Kehilangan tidak membuatnya menutup diri. Justru ia membuka ruang agar anak-anaknya tidak ikut merasa kehilangan arah.

Hari Ibu dan Cara Kita Memaknainya

Hari Ibu sering hadir sebagai momen seremonial. Linimasa dipenuhi dengan foto-foto lama, cerita masa kecil diulang, dan caption panjang ditulis dengan kata-kata penuh cinta. Semua tampak hangat dan tulus. Tidak ada yang salah dengan itu. Namun pagi ini, maknanya terasa berbeda bagi saya. Bukan soal siapa yang paling cepat memberi ucapan, bukan pula soal siapa yang paling puitis merangkai kata. Melainkan soal siapa yang masih ingat untuk hadir lebih dulu, tanpa diingatkan. Dan sekali lagi, ibu melakukannya. Tanpa pengumuman, tanpa ekspektasi balasan, tanpa menghitung siapa yang seharusnya lebih dulu.

Kalah Cepat yang Mengajarkan Kesadaran

Saya akhirnya membalas pesan ibu, dengan kata-kata sederhana, nada hangat yang saya usahakan jujur, disertai doa yang tulus. Namun rasa itu tidak serta-merta hilang, ia berubah menjadi refleksi yang menetap. Berapa kali lagi saya akan kalah cepat? Berapa kali ibu harus lebih dulu mengingat, sementara saya merasa hidup saya paling sibuk? Kekalahan kecil pagi itu membuka satu kesadaran penting. Bahwa menjadi anak dewasa bukan tentang seberapa mandiri kita, melainkan seberapa sadar kita menjaga relasi, tanpa harus menunggu momen besar atau hari perayaan.

Zodiak Beruntung: Kelimpahan di Akhir Desember 2025

Hari Ibu sebagai Jeda

Hari Ibu seharusnya menjadi sebuah jeda, kesempatan untuk membaca ulang relasi kita dengan orang tua. Jika ibu kita masih hidup, masih mampu berjalan kaki ke kegiatan, masih naik angkot dengan semangat, barangkali yang ia butuhkan bukanlah larangan, melainkan perhatian yang sadar. Pagi ini, saya terlambat mengingat. Dan ibu, sekali lagi, terlalu cepat memberi.