Kritik Buruh DIY atas Formula Kenaikan Upah Minimum: Upah Seharusnya Hak Fundamental, Bukan Sekadar Variabel Ekonomi
Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan telah resmi menetapkan formula kenaikan upah minimum, mulai dari tingkat provinsi hingga sektoral kabupaten/kota. Regulasi baru ini menggunakan rumus kenaikan upah minimum yang berbasis inflasi dan pertumbuhan ekonomi, dikalikan dengan koefisien tertentu yang disebut “alfa”. Keputusan ini menuai reaksi keras dari kalangan buruh di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang menilai kebijakan ini belum menempatkan upah sebagai hak dasar pekerja untuk hidup layak.
Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, menjelaskan bahwa formula kenaikan upah minimum kini ditetapkan sebesar inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi dikalikan alfa, dengan rentang nilai alfa antara 0,5 hingga 0,9. Menurutnya, keputusan ini merupakan hasil dari pertimbangan panjang dan masukan dari berbagai pihak, termasuk serikat pekerja dan pelaku usaha. Variabel alfa ini dimaksudkan untuk merepresentasikan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi di tingkat daerah, sehingga besaran kenaikan upah minimum dipastikan akan berbeda antarwilayah.
Perhitungan kenaikan upah minimum, lanjut Yassierli, sepenuhnya menjadi kewenangan Dewan Pengupahan Daerah. Hasil perhitungan tersebut kemudian akan disampaikan kepada gubernur sebagai rekomendasi untuk ditetapkan dan diumumkan kepada publik. PP Pengupahan juga menegaskan kewajiban gubernur untuk menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP). Sementara itu, penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) bersifat opsional, tergantung pada kondisi daerah masing-masing. Untuk penetapan upah tahun 2026, pemerintah memberikan tenggat waktu ketat, yaitu selambat-lambatnya pada tanggal 24 Desember 2025, demi memberikan kepastian bagi pekerja dan dunia usaha.
Formula Baru Dinilai Gagal Mengejar Kebutuhan Hidup Layak
Namun, di Daerah Istimewa Yogyakarta, keputusan pemerintah ini justru memicu kritik tajam dari kalangan buruh. Koordinator Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY, Irsad Ade Irawan, berpendapat bahwa penggunaan kembali formula inflasi dan pertumbuhan ekonomi menunjukkan negara masih memandang upah buruh semata-mata sebagai variabel ekonomi. “Padahal upah adalah hak dasar buruh untuk hidup layak, bukan sekadar instrumen stabilitas ekonomi,” tegas Irsad.
MPBI DIY, menurut Irsad, sejak awal telah menyampaikan keberatan terhadap formula pengupahan tersebut, baik melalui aksi massa maupun pernyataan sikap resmi. Mereka berargumen bahwa kenaikan upah yang berbasis inflasi dan pertumbuhan ekonomi tidak pernah benar-benar mampu mengejar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) buruh. “Fakta di lapangan menunjukkan, kenaikan upah dengan formula ini selalu tertinggal dari realitas biaya hidup. Di DIY, yang dikenal dengan upah murah dan angka kemiskinan yang masih cukup tinggi, formula ini justru memperpanjang ketimpangan. Buruh terus dipaksa bertahan dengan upah yang tidak mencukupi kebutuhan dasar,” paparnya.
Problem Keterlibatan Serikat Buruh dan Rentang Nilai Alfa
Selain itu, MPBI DIY juga menyoroti penentuan rentang nilai alfa yang dinilai problematis. Rentang 0,5 hingga 0,9 ini ditetapkan di tengah belum rampungnya revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan. “Penentuan nilai alfa ini membuka ruang politis yang sangat besar, tetapi tanpa jaminan keberpihakan kepada buruh. Pemerintah sudah mengeluarkan PP, sementara pembaruan UU Ketenagakerjaan sendiri belum selesai. Akibatnya, kenaikan upah berpotensi hanya bersifat simbolis dan tidak signifikan,” ujar Irsad.
Kritik juga diarahkan pada peran Dewan Pengupahan Daerah yang dinilai belum sepenuhnya demokratis dan independen. Menurut Irsad, keterlibatan buruh dalam dewan tersebut kerap hanya bersifat formalitas, karena ruang penentuan kebijakan sudah dibatasi oleh formula yang ditetapkan pemerintah pusat. “Dewan Pengupahan Daerah hanya diminta menghitung berdasarkan formula yang sudah ditentukan sepihak. Kepentingan buruh sering kali dikalahkan oleh narasi investasi dan stabilitas usaha. Ini bukan soal teknis penghitungan, tetapi soal keberpihakan,” tegasnya.
Tuntutan Keberpihakan Gubernur DIY
MPBI DIY mengingatkan agar kewajiban gubernur untuk menetapkan UMP, UMK, UMSP, dan UMSK sebelum 24 Desember 2025 tidak hanya menjadi rutinitas administratif. Mereka mendesak Gubernur DIY untuk berani menggunakan kewenangannya demi berpihak pada buruh. “Gubernur DIY harus berani menggunakan kewenangannya untuk berpihak pada buruh, bukan sekadar menjadi perpanjangan tangan kebijakan pusat yang menekan upah,” pinta Irsad.
Dalam pernyataan sikapnya, MPBI DIY menegaskan tiga poin krusial yang menjadi landasan tuntutan mereka:
- Upah Layak adalah Hak, Bukan Bonus: Kenaikan upah minimum haruslah mencerminkan kebutuhan hidup layak, bukan sekadar tambahan ekonomi yang bersifat insidental. Upah yang memadai adalah hak fundamental setiap pekerja untuk mendapatkan kehidupan yang bermartabat.
- Pembangunan Semu Tanpa Kesejahteraan Buruh: Pertumbuhan ekonomi yang tidak dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan buruh dianggap sebagai pembangunan yang semu. Kemajuan ekonomi semestinya dirasakan manfaatnya oleh seluruh elemen masyarakat, termasuk para pekerja yang menjadi tulang punggung perekonomian.
- Negara Gagal Jika Buruh Hidup dengan Upah Murah: Negara dinilai telah gagal dalam menjalankan fungsinya jika para pekerjanya terus dipaksa hidup dengan upah yang tidak mencukupi kebutuhan dasar. Kesejahteraan buruh merupakan indikator penting keberhasilan pembangunan suatu bangsa.
