Bendera putih secara universal dipahami sebagai simbol penyerahan diri. Namun, makna di balik pengibarannya jauh lebih kompleks dan beragam, mencakup berbagai situasi mulai dari peperangan hingga permintaan bantuan pascabencana. Fenomena pengibaran bendera putih baru-baru ini di Aceh, pasca bencana banjir bandang, kembali memunculkan diskusi mengenai arti sebenarnya dari simbol yang telah berusia ribuan tahun ini.
Bendera Putih: Lebih dari Sekadar Tanda Menyerah
Secara umum, bendera putih diidentikkan dengan kapitulasi dalam konteks peperangan. Ketika satu pihak mengibarkan bendera putih, ini menandakan bahwa mereka menghentikan pertempuran, baik untuk menyerah sepenuhnya atau untuk membuka jalan bagi perundingan damai. Namun, makna ini tidak selalu mutlak.
James Ferrigan, seorang konsultan vexillologi (ahli bendera) dan perwira untuk Asosiasi Vexillologi Amerika Utara, menjelaskan bahwa bendera putih dapat memiliki beberapa interpretasi. “Mungkin berarti Anda ingin berunding,” ujarnya. Lebih lanjut, ia menambahkan, “Mungkin untuk menguburkan orang mati, jadi itu bukan perundingan, negosiasi, atau penyerahan diri, melainkan hanya jeda sementara.”
Kasus di Aceh beberapa waktu lalu menjadi contoh nyata bagaimana bendera putih dapat diartikan sebagai seruan untuk bantuan. Masyarakat yang terdampak banjir bandang mengibarkan bendera putih sebagai simbol bahwa mereka membutuhkan dukungan dan uluran tangan untuk bangkit kembali pascabencana. Ini menunjukkan fleksibilitas makna bendera putih yang dapat beradaptasi dengan konteks sosial dan kemanusiaan.
Jejak Sejarah Bendera Putih
Asal-usul pasti mengapa bendera putih menjadi simbol penyerahan diri masih belum sepenuhnya jelas. Namun, penggunaannya sebagai isyarat damai atau penghentian pertempuran telah tercatat sejak zaman Romawi kuno.
Sejarawan Romawi, Livy, dalam tulisannya mengenai Perang Punisia Kedua (218–201 SM), menceritakan bagaimana bangsa Kartago menggunakan “pita wol putih dan ranting zaitun” sebagai isyarat keinginan mereka untuk berdamai. Peristiwa serupa juga dicatat oleh sejarawan Romawi lainnya, Tacitus, yang melaporkan penggunaan kain putih dalam perang saudara Romawi pada tahun 69 Masehi. Kejadian-kejadian ini mengindikasikan bahwa bangsa-bangsa kuno telah memahami kekuatan simbolis kain putih untuk mengakhiri permusuhan.
Makna Spiritual dan Kemanusiaan di Balik Warna Putih
Ed Watts, seorang profesor sejarah di University of California, San Diego, memberikan pandangan menarik mengenai penggunaan warna putih. Ia menjelaskan bahwa pada masa itu, masyarakat Mediterania seringkali mengenakan pakaian putih sebagai bentuk penghormatan dan penyembahan kepada para dewa. Penggunaan kain atau wol berwarna putih saat itu dapat diartikan sebagai ekspresi ketundukan, permohonan belas kasihan dari lawan, atau bahkan sebagai cara untuk memohon perlindungan ilahi.
Ribuan tahun kemudian, bendera putih kembali muncul dalam catatan sejarah, kali ini digunakan oleh Dinasti Han di Tiongkok (202 SM-220 M). Dalam konteks ini, bendera putih diadopsi sebagai simbol berkabung dan penyerahan diri.
Adaptasi Modern dan Pengakuan Global
Di era modern, bendera putih semakin mengukuhkan posisinya sebagai simbol universal penyerahan diri. Selain itu, fungsinya meluas sebagai penanda gencatan senjata sementara di medan perang, membuka ruang untuk negosiasi atau evakuasi korban.
Pengakuan resmi terhadap makna bendera putih tercatat dalam kamus-kamus terkemuka. Kamus Bahasa Inggris Oxford dan Merriam Webster mencatat penggunaan istilah “bendera putih” paling awal yang diketahui pada tahun 1578. Catatan ini berasal dari pelaut Inggris, George Best, yang mendokumentasikan pertemuannya dengan masyarakat Inuit saat melakukan ekspedisi pencarian Jalur Barat Laut. Ia menggambarkan bagaimana orang-orang Inuit melakukan kontak damai dengan awak kapalnya dengan mengibarkan “bendera putih yang terbuat dari kantung kemih yang dijahit bersama dengan usus dan urat binatang.” Pengalaman ini semakin memperkuat pemahaman bahwa warna putih, dalam berbagai bentuk dan bahan, telah lama diasosiasikan dengan niat damai dan penghentian konflik.
