Home / Sosial & Budaya / Bullying Anak Meroket: Panduan Ampuh Menghadapinya

Bullying Anak Meroket: Panduan Ampuh Menghadapinya

Lima tahun terakhir telah menyajikan gambaran yang mengkhawatirkan bagi para orang tua, di mana lingkungan sekolah, yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak-anak untuk berkembang, justru kerap kali menjadi arena kekhawatiran. Data menunjukkan tren peningkatan kasus perundungan atau bullying yang terus melonjak, bahkan mengalami peningkatan lebih dari dua kali lipat antara tahun 2023 dan 2024 saja. Tragedi yang menimpa siswa SMPN 19 Tangsel beberapa waktu lalu menjadi pengingat pahit akan dampak fatal yang dapat ditimbulkan oleh bullying, mulai dari luka psikologis mendalam hingga hilangnya nyawa.

Dalam menghadapi realitas yang semakin serius ini, orang tua dan anak tidak boleh merasa sendirian. Meskipun pemerintah tengah berupaya menyiapkan aturan baru dan merevisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) untuk memperkuat sistem perlindungan, langkah perlindungan terbaik sesungguhnya dimulai dari kesiapan dan pengetahuan di lingkungan keluarga.

Lantas, langkah-langkah konkret apa yang dapat diambil oleh orang tua dan anak untuk menghadapi eskalasi kasus bullying ini? Berikut adalah ulasan mendalam yang dirangkum dari berbagai sumber terpercaya.

Memahami Berbagai Bentuk dan Dampak Bullying yang Seringkali Tak Terlihat

Langkah fundamental dalam memerangi bullying adalah dengan mengenali musuh. Ini berarti orang tua dan anak perlu memiliki pemahaman yang sama bahwa bullying tidak hanya terbatas pada kekerasan fisik yang kasat mata, seperti pukulan atau tendangan yang diduga dialami oleh korban di Tangsel.

Menurut Prof. Dr. Nurini Aprillanda, seorang Pakar Hukum Pidana Anak, kekerasan psikis dan perundungan sistematis yang tidak meninggalkan jejak luka fisik pun termasuk dalam kategori bullying yang memiliki potensi merusak tumbuh kembang anak secara signifikan. Data dari berbagai laporan mengenai undang-undang terkait bullying mencatat bahwa pola kekerasan ini sudah mulai muncul sejak usia dini. Pada tahun 2024, tercatat bahwa korban terbanyak berasal dari siswa Sekolah Dasar (SD) dengan persentase 26%, diikuti oleh siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) sebesar 25%, dan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebesar 18,75%.

Zodiak Rabu 17 Des: Asmara, Cuan, Hoki Berkilau

Dampak terburuk dari bullying dilaporkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) antara Januari hingga Oktober 2025, di mana sebagian dari 25 kasus bunuh diri anak yang terjadi disebabkan oleh tekanan psikologis berkepanjangan akibat perundungan. Semua data yang terkumpul di lapangan ini secara tegas membuktikan bahwa luka di hati seringkali jauh lebih berbahaya dan merusak dibandingkan luka di kulit yang dapat terlihat secara kasat mata.

Memahami Hak Perlindungan Hukum bagi Anak

Sebagai orang tua, sangat penting untuk menyadari bahwa anak-anak kita dilindungi oleh hukum. Unsur-unsur larangan terhadap bullying telah tersebar di berbagai regulasi yang berlaku di Indonesia, mencakup Undang-Undang Perlindungan Anak, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud), hingga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Perlindungan Anak secara eksplisit mengategorikan bullying sebagai bentuk kekerasan terhadap anak. Ini berarti pelaku bullying dapat dikenakan sanksi pidana meskipun tidak ada luka fisik yang dialami korban.

Sayangnya, Indonesia dinilai masih belum memiliki Undang-Undang Anti-Bullying yang bersifat komprehensif dan terpadu. Oleh karena itu, peran aktif orang tua dalam melaporkan kasus bullying serta mendorong anak untuk berani melapor menjadi sangat krusial. Jangan ragu untuk memanfaatkan saluran resmi yang telah disediakan oleh pemerintah, seperti Pusat Panggilan 177 atau melalui email [email protected]. Melaporkan pelaku bullying bukanlah tindakan yang berlebihan, melainkan sebuah upaya konkret untuk memutus mata rantai kekerasan sebelum masalah tersebut berkembang menjadi lebih parah.

Wawako Ajak Masyarakat Perkuat Kolaborasi Lestarikan Budaya Lokal

Membangun Komunikasi dan Empati di Lingkungan Keluarga

Pencegahan bullying yang paling efektif sejatinya dimulai dari pondasi keluarga yang kuat. Orang tua memegang peranan sangat penting dalam menciptakan “zona aman” bagi anak. Zona aman adalah lingkungan di mana anak merasa nyaman untuk bercerita tentang apa pun yang mereka alami tanpa rasa takut dihakimi atau diremehkan.

Untuk mencapai hal ini, penting bagi orang tua untuk mengajarkan dan melatih nilai-nilai empati kepada anak sejak dini melalui diskusi sehari-hari. Berikan disiplin yang mendidik anak agar memahami batasan-batasan yang ada, namun tetap senantiasa merasa dicintai dan didukung sepenuhnya oleh keluarga.

Komunikasi yang terbuka dan efektif juga memungkinkan orang tua untuk mendeteksi gejala-gejala awal bullying. Perubahan sikap yang drastis, keengganan untuk pergi ke sekolah, atau bahkan mimpi buruk yang berulang dapat menjadi indikator penting bahwa anak sedang mengalami masalah. Ingatlah, lingkungan yang benar-benar aman hanya dapat tercipta apabila terdapat hubungan yang kuat dan sinergis antara pihak sekolah, orang tua, dan siswa itu sendiri.

Mengajarkan Anak Strategi Melindungi Diri dan Lingkungan Sekitar

Anak-anak bukanlah pihak yang pasif dalam menghadapi bullying. Mereka justru dapat menjadi agen perubahan di lingkungan mereka. Untuk itu, ajarkan anak agar memiliki kepekaan terhadap perasaan teman-teman mereka. Jelaskan bahwa bercanda adalah hal yang wajar, namun jika candaan tersebut sudah menyakiti hati atau fisik seseorang, maka itu berarti sudah melampaui batas.

Khitan Massal 100 Anak Yatim: Dompet Ummat & PKK Pontianak Berbagi Kebaikan

Dorong anak untuk berani menegur tindakan yang dianggap melewati batas dengan tegas. Yang terpenting, tanamkan pada anak untuk tidak menjadi silent bystander atau penonton yang diam. Jika mereka menyaksikan atau mengalami sendiri tanda-tanda perundungan, langkah terbaik adalah segera melaporkannya kepada guru, orang tua, atau pihak berwenang di sekolah.

Sebagaimana ditekankan oleh Wakil Ketua Komisi X DPR, My Esti Wijayati, tindakan cepat dalam kurun waktu 24 jam pertama setelah laporan diterima sangat menentukan efektivitas penanganan. Oleh karena itu, anak juga dapat berperan aktif sebagai pelapor ketika melihat tindakan perundungan terjadi di lingkungan sekolah.

Mengenali Sistem Pencegahan yang Efektif untuk Memberi Efek Jera pada Pelaku

Kita dapat belajar dari negara-negara yang telah menerapkan sistem pencegahan bullying yang lebih matang, seperti Korea Selatan. Negara ini memberlakukan sistem poin pelanggaran dengan sanksi yang berlapis, mulai dari kewajiban permintaan maaf tertulis hingga sanksi pindah sekolah secara paksa. Bahkan, mulai tahun 2026 mendatang, Korea Selatan berencana menerapkan bahwa riwayat bullying akan menjadi salah satu pertimbangan penting dalam penerimaan universitas. Sistem pencegahan ini dinilai sangat efektif dalam membuat calon pelaku berpikir dua kali sebelum melakukan tindakan perundungan.

Di Indonesia, arah kebijakan serupa juga mulai dibahas secara serius dan sangat terbuka untuk menerapkan hal yang serupa. Pemerintah saat ini sedang berupaya membenahi regulasi sejak jenjang pendidikan dasar agar memiliki Standar Operasional Prosedur (SOP) yang tegas dan jelas dalam menangani kasus bullying.

Meningkatnya kasus bullying merupakan sebuah alarm bagi kita semua, baik orang tua maupun pendidik. Ini bukanlah sekadar fase yang akan berlalu dengan sendirinya, melainkan sebuah isu serius yang memiliki implikasi mendalam terhadap masa depan dan kesehatan mental anak. Dengan bekal pengetahuan yang memadai, komunikasi yang terbuka, serta tindakan proaktif dari orang tua dan anak, kita dapat mengubah rasa khawatir menjadi kekuatan kolektif. Mari kita bersama-sama berupaya menjadikan setiap ruang, baik di rumah maupun di sekolah, sebagai lingkungan yang aman dan kondusif untuk tumbuh kembang optimal generasi penerus bangsa.