Home / Sosial & Budaya / Jejak Katolik: Pendidikan Wanita Jepang

Jejak Katolik: Pendidikan Wanita Jepang

Di tengah lanskap pendidikan Jepang yang terus berkembang, sebuah institusi unik berdiri sebagai bukti warisan pengaruh Katolik yang tak terduga: Fuji Women’s University di Sapporo, Prefektur Hokkaido. Universitas ini, yang merayakan seratus tahun kehadirannya, merupakan sebuah mercusuar pendidikan bagi perempuan, yang berakar dari kepedulian mendalam Gereja Katolik terhadap keterbatasan akses pendidikan bagi perempuan Jepang di awal abad ke-20.

Perjalanan institusi ini dimulai pada tahun 1920, ketika tiga biarawati Katolik asal Jerman – Sr. M. Jeanne Berchmans Salomon, Sr. M. Xavera Lehme, dan Sr. M. Candida von der Haar – tiba di Sapporo. Kedatangan mereka dipicu oleh visi seorang imam Fransiskan asal Jerman di Sapporo, Wenseslaus Kinold, yang kemudian menjadi uskup pertama di sana. Kinold meyakini bahwa masa depan Hokkaido sangat bergantung pada pendidikan perempuan, sehingga ia mengajukan permohonan kepada Gereja di Jerman untuk mengirim para pendidik. Kebutuhan akan lembaga pendidikan bagi perempuan di Hokkaido, yang saat itu masih dianggap sebagai wilayah pinggiran dalam peta modernisasi Jepang, sangatlah mendesak.

“Pada masa itu, hampir tidak ada pendidikan tinggi khusus untuk perempuan di Jepang. Pendidikan perempuan masih dianggap sesuatu yang sulit dan tidak menjadi prioritas,” ujar Jeremy Redlich, Wakil Presiden Fuji Women’s University, saat memperkenalkan sejarah kampus tersebut.

Langkah awal yang diambil cukup sederhana namun bermakna. Berdasarkan informasi historis, cikal bakal universitas ini dimulai pada tahun 1925 ketika ketiga biarawati tersebut mendirikan Fuji Girls’ High School, sebuah sekolah menengah khusus perempuan dengan masa belajar lima tahun. Dari sinilah, Fuji Women’s University berkembang secara bertahap, beradaptasi dengan perubahan sistem pendidikan Jepang dan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang.

Transformasi Menuju Universitas Modern

Pasca Perang Dunia II, lembaga ini mengalami transformasi signifikan. Pada tahun 1947, didirikanlah Fuji Women’s Technical College, yang kemudian direorganisasi menjadi Fuji Women’s Junior College pada tahun 1950. Tonggak penting tercapai pada tahun 1961, ketika Fuji Women’s College resmi dibuka sebagai perguruan tinggi empat tahun dengan pendirian Fakultas Humaniora, yang mencakup program studi Sastra Inggris dan Sastra Jepang.

Zodiak Rabu 17 Des: Asmara, Cuan, Hoki Berkilau

Perkembangan kampus terus berlanjut dengan pembukaan Kampus Hanakawa pada tahun 1992, yang menjadi basis bagi studi-studi yang lebih aplikatif seperti ilmu kehidupan, nutrisi, dan kesejahteraan keluarga. Seiring waktu, lembaga ini berevolusi menjadi Fuji Women’s University yang utuh, lengkap dengan program pascasarjana yang dibuka pada tahun 2002.

Memasuki abad ke-21, universitas ini terus beradaptasi dengan perubahan sosial. Pada tahun 2025, bertepatan dengan usia satu abadnya, Fuji Women’s University melakukan perombakan pada nama sejumlah fakultas dan program studi. Tujuan utama restrukturisasi ini adalah untuk menegaskan kembali fokus pada isu-isu krusial seperti well-being (kesejahteraan), kesejahteraan regional, dan lingkungan pangan. Perubahan ini merupakan respons strategis terhadap tantangan masyarakat Jepang yang semakin menua.

Universitas dengan Akar Katolik yang Relatif Sekuler

Meskipun berakar kuat dari tradisi Katolik, Fuji Women’s University saat ini beroperasi sebagai institusi yang relatif sekuler. Jeremy Redlich menjelaskan bahwa mayoritas mahasiswi dan dosennya bukanlah penganut Katolik. Namun, nilai-nilai inti seperti penghormatan terhadap martabat manusia, pendidikan sebagai sarana pembebasan, dan perhatian pada kelompok rentan tetap menjadi ruh yang menjiwai institusi ini.

Hingga kini, Fuji Women’s University tetap terhubung dengan jaringan universitas Katolik di Asia dan Pasifik melalui Association of Southeast and East Asian Catholic Universities (ASEACU). Pertemuan jejaring ini dijadwalkan akan berlangsung di Indonesia pada tahun mendatang.

“Kami adalah universitas Katolik, tetapi juga universitas perempuan. Fokus kami adalah memberdayakan perempuan agar menemukan suaranya sendiri,” tegas Jeremy. Ia menilai bahwa universitas perempuan masih memiliki relevansi yang kuat di Jepang, meskipun popularitasnya mengalami penurunan seiring dengan berkurangnya jumlah penduduk usia muda, sebuah fenomena yang juga terjadi di negara lain seperti Amerika Serikat.

Wawako Ajak Masyarakat Perkuat Kolaborasi Lestarikan Budaya Lokal

Setelah delapan tahun mengajar di Fuji Women’s University, Jeremy melihat nilai yang kuat dari model pendidikan ini. Ia berpendapat bahwa universitas perempuan memberikan ruang penting bagi mahasiswi untuk memberdayakan diri, menemukan suara mereka, dan memahami identitas diri mereka. “Saya sangat berharap universitas seperti ini akan terus bertahan di masa depan. Saya tidak yakin seperti apa masa depan universitas perempuan di Jepang, tetapi mari berharap universitas ini masih memiliki masa depan,” ujarnya penuh harap.

Meskipun bersifat sekuler, jejak identitas Katolik masih dapat ditemukan di lorong-lorong universitas ini, seperti keberadaan salib, ikon, kandang natal, pohon terang, atau lukisan orang kudus. Universitas ini bahkan memiliki kapel Katolik di dalamnya, tempat perayaan Ekaristi sesekali diselenggarakan.

Memahami Lanskap Keagamaan Jepang

Dalam kunjungan ke universitas tersebut, para delegasi jurnalis berkesempatan mengikuti kelas budaya Jepang yang dibawakan oleh Mila Tillonen, seorang dosen asal Finlandia yang telah sepuluh tahun mendalami budaya Asia Timur di Jepang. Dalam kelas tersebut, yang turut dihadiri oleh beberapa mahasiswi universitas, terungkap fakta menarik mengenai posisi agama dalam kehidupan sosial Jepang.

Mia menjelaskan bahwa agama bukanlah topik bahasan publik yang umum di Jepang, dan posisinya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan tidak begitu kuat. Agama Shinto dan Buddha mendominasi Jepang. Berdasarkan data Badan Urusan Budaya Jepang tahun 2023, pemeluk Shinto mencapai 48% dari total penduduk, sementara pemeluk Buddha sekitar 47%. Katolik dan Protestan hanya berkisar 1%, sedangkan Islam dan agama lainnya mencakup 4%.

“Shinto adalah agama asli Jepang, Anda tidak akan menemukannya di tempat lain. Agama ini bersifat politeistik, jadi pada dasarnya percaya pada banyak dewa. Mereka disebut Kami dalam bahasa Jepang,” terang Mia. Agama Shinto sangat berorientasi pada tempat dan praktik, tanpa pendiri atau kitab suci yang mengikat para pengikutnya. Pusat praktiknya adalah kuil-kuil Shinto, menjadikannya agama yang sangat terikat pada lokasi geografis.

Khitan Massal 100 Anak Yatim: Dompet Ummat & PKK Pontianak Berbagi Kebaikan

Buddhisme, sebaliknya, berasal dari Tiongkok ke Jepang dan telah dipraktikkan sejak abad ke-6. Di Jepang, Buddhisme berkembang menjadi berbagai sekte dengan doktrin dan ajaran masing-masing. “Dibandingkan dengan Shinto, agama ini lebih seperti filsafat, semacam agama intelektual, sedangkan Shinto lebih menekankan tempat dan praktik sebagai pusat agama,” tambahnya.

Yang menarik, Badan Urusan Budaya Jepang mencatat jumlah penganut agama di Jepang mencapai 172,2 juta penduduk, padahal jumlah penduduk Jepang hanya sekitar 124,35 juta jiwa. Fenomena unik ini terjadi karena satu orang di Jepang bisa terdaftar di dua organisasi keagamaan yang berbeda. Banyak orang Jepang berpartisipasi dalam ritual dan upacara Shinto maupun Buddha secara bersamaan, namun mereka mungkin tidak menganggap diri mereka religius dalam arti afiliasi atau keyakinan yang mendalam.

“Yang membuat hal ini semakin membingungkan adalah ketika orang Jepang ditanya tentang agama mereka, mereka biasanya mengatakan bahwa mereka tidak memiliki agama,” ujar Mia. Menurutnya, ketika berkaitan dengan Shinto dan Buddha, orang Jepang umumnya tidak memilih salah satu secara eksklusif. Keduanya memiliki waktu dan tempat dalam kehidupan seseorang. Shinto, misalnya, sangat terkait dengan peristiwa kehidupan: bayi dibawa ke kuil Shinto saat lahir, anak-anak sering mengikuti upacara di kuil pada usia tiga, lima, dan tujuh tahun, serta pernikahan seringkali dilangsungkan di kuil-kuil ini. Shinto juga memiliki banyak ritual dan festival tahunan.

Buddhisme, di sisi lain, secara tradisional memiliki peran dalam upacara pemakaman. Namun, banyak orang juga mengunjungi kuil dan tempat suci dalam konteks pariwisata.

Dalam konteks karakter budaya seperti ini, agama Katolik yang umumnya menuntut eksklusivitas penyembahan pada Satu Tuhan tidak begitu populer di Jepang. Meskipun demikian, masyarakat Jepang tidak begitu mempermasalahkan identitas agama sebuah institusi pendidikan ketika memilih tempat belajar. Di tengah masyarakat Jepang yang kerap mengaku “tidak beragama”, keberadaan Fuji Women’s University menjadi penanda bahwa jejak Katolik di Jepang tidak hadir dalam bentuk dominasi iman. Sebaliknya, Katolik hadir dalam bentuk kontribusi nyata di bidang pendidikan, khususnya pendidikan perempuan, yang telah bertahan selama satu abad dan terus memberikan dampak positif.