Liputan6.com, Gaza - Kematian Yahya Sinwar telah menimbulkan banyak pertanyaan tentang masa depan perang di Jalur Gaza. Tapi, mungkin tidak ada pertanyaan nan lebih mendesak daripada siapa nan bakal menggantikannya sebagai pemimpin Hamas?
Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengatakan pada hari Kamis (17/10/2024) bahwa dalang di kembali serangan 7 Oktober 2023 terhadap Israel itu telah tewas dalam operasi rutin di Jalur Gaza selatan pada hari Rabu (16/10).
Lantas, siapa saja kandidat utama untuk menggantikan Sinwar, nan tewas tidak lama setelah pengumuman penunjukannya sebagai pemimpin Hamas? Dilansir The Hill, Sabtu (19/10/2024), berikut sejumlah nama nan muncul:
Mahmoud al-Zahar
Menurut Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri, Mahmoud al-Zahar adalah pendiri dan personil senior Hamas, nan "agresif" dan "konservatif secara sosial", sekalipun berasas standar golongan militan tersebut.
Dia terpilih menjadi personil Dewan Legislatif Palestina (PLC) pada tahun 2006 dan diangkat sebagai menteri luar negeri pertama golongan tersebut setelah kemenangan Hamas dalam pemilu tahun itu. Dia dilaporkan selamat dari upaya pembunuhan oleh Israel pada tahun 1992 dan 2003.
Reuters melaporkan bahwa dia tidak membikin pernyataan publik alias tampil sejak 7 Oktober 2023.
Al-Zahar sebelumnya bekerja sebagai master di Jalur Gaza dan mendirikan badan kebaikan medis.
Mohammed Sinwar
Salah satu calon penggantinya Sinwar adalah saudaranya, Mohammed Sinwar. Kenaikan jabatannya kemungkinan bakal menandakan kelanjutan pendekatan saudaranya terhadap perundingan gencatan senjata.
"Sinwar sangat mau untuk membawa negosiasi ke kesimpulan, baik itu mengenai gencatan senjata alias pertukaran tahanan, lantaran dalam kedua kasus itu, Sinwar bakal keluar sebagai pemenang," kata Nabih Awada, seorang analis politik Lebanon dan mantan militan nan menghabiskan bertahun-tahun di penjara Israel berbareng Sinwar, seperti dilansir AP.
Seorang pejabat Amerika Serikat (AS) mengatakan kepada CNN bahwa jika Mohammed terpilih, negosiasi bakal betul-betul kacau dan seorang mantan pejabat menggambarkannya sebagai "orang nan sama persis" dengan saudaranya.
Mousa Abu Marzouk
Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri menyebut bahwa Mousa Abu Marzourk membantu menciptakan bagian Ikhwanul Muslimin Palestina nan kemudian membentuk Hamas.
Dia menjabat sebagai pemimpin pertama Biro Politik Hamas dari tahun 1992-1996 dan saat ini dikabarkan tinggal di Qatar setelah sebelumnya sempat menetap di AS, dideportasi ke Yordania, dan pindah ke Suriah.
Tiga Kandidat Lainnya
Salah satu dari tiga kandidat di bawah ini disebut sosok nan mungkin ideal bagi AS. Siapa dia?
Mohammed Deif
Tidak jelas apakah Mohammed Deif tetap hidup. Militer Israel mengatakan Deif tewas dalam serangan udara awal tahun ini, namun seorang pejabat tinggi Hamas mengaku kepada AP pada bulan Agustus bahwa dia tetap hidup.
Reuters melaporkan, sebagai personil pendiri dan komandan sayap militer Hamas, Brigade Izz al-Din al-Qassam sejak tahun 2002, Deif diyakini sebagai dalang serangan 7 Oktober berbareng Sinwar.
Seorang mantan penasihat kontraterorisme di Kementerian Luar Negeri AS menggambarkan Deif sebagai "pejabat Hamas nan sangat garis keras".
Laporan BBC menyebutkan, Deif sebagai perancang salah satu senjata utama Hamas, roket Qassam, dan jaringan terowongan di Jalur Gaza.
Khalil al-Hayya
Khalil al-Hayya adalah personil biro politik Hamas nan berbasis di Qatar dan telah menjadi negosiator utama dalam obrolan gencatan senjata. Saat ini dia tinggal di Qatar.
Pejabat AS mengatakan kepada CNN bahwa al-Hayya "mungkin orang nan diinginkan AS" lantaran perannya dalam pembicaraan gencatan senjata. Menurut Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri, dia adalah tokoh utama dalam negosiasi kesepakatan gencatan senjata dengan Israel selama perang Jalur Gaza 2014.
AP melaporkan pada bulan Agustus bahwa al-Hayya juga dipandang sebagai calon pengganti Ismail Haniyeh nan tewas pada Juli. Namun, peran itu jatuh ke tangan Sinwar.
Al-Hayya, sebut AP, mengatakan pada bulan April bahwa Hamas bakal meletakkan senjatanya, berubah menjadi partai politik, dan menyetujui gencatan senjata selama lima tahun jika Negara Palestina merdeka didirikan berasas tapal pemisah 1967.
Pada tahun 2007, al-Hayya selamat dari serangan Udara di rumahnya di Jalur Gaza, nan menewaskan personil keluarganya.
Khaled Mashal
Khaled Mashal adalah pemimpin Hamas selama lebih dari satu dasawarsa mulai tahun 2006, serta mantan pemimpin biro politiknya.
Namun, menurut CNN, dia bakal menjadi pilihan nan tidak mungkin mengingat dukungannya terhadap pemberontakan terhadap Presiden Suriah Bashar al-Assad, nan menyebabkan keretakan dengan pelindungnya, Iran.
Mashal selamat dari upaya pembunuhan terhadapnya pada akhir tahun 90-an.
"Sejarah Palestina terdiri dari siklus," kata laki-laki berumur 68 tahun itu dalam wawancaranya dengan Reuters di Qatar, tempat dia tinggal, awal bulan ini.
"Kami melewati fase-fase di mana kami kehilangan martir dan kami kehilangan sebagian dari keahlian militer kami, namun kemudian semangat Palestina bangkit kembali, seperti burung phoenix, terima kasih kepada Tuhan."