Keren, Nissa Wargadipura dari Pesantren Ath-Thaariq Garut Raih FAO Heroes 2024

Sedang Trending 1 minggu yang lalu

Liputan6.com, Roma - Keren, seorang anak bangsa menyabet penghargaan bergengsi dari PBB.

Pengelola Pesantren Ath-Thaariq di Garut, Jawa Barat, Nissa Wargadipura, pada hari Rabu (16/10) menjadi salah seorang penerima hidayah bergengsi FAO Heroes 2024 atau “Pahlawan Pangan” dari Badan PBB Urusan Pangan Dunia (Food & Agriculture Organization) FAO.

Nissa dari Indonesia adalah salah seorang dari 26 tokoh bumi nan dinilai sukses membantu mewujudkan akses dan kesiapan pangan nan beragam, bergizi, terjangkau dan aman.

Berkerudung putih merah jambu, Nissa nan berperawakan kecil, naik ke atas panggung berbareng tujuh penerima lain nan datang langsung di aktivitas penganugrahan penghargaan “Food Hero’s FAO Global Family Farming Forum” di Roma, Italia.

Diwawancarai VOA melalui telepon sesuai menerima penghargaan itu, seperti dikutip Sabtu (18/10/2024), Nissa mengatakan Food Heroes nan diterimanya seakan “menggeser paradigma nan ada selama ini tentang apa nan disebut sebagai pertanian nan berhasil.”

Nissa, nan sejak tahun 2008 mengajarkan santri-santrinya beragam teknik pertanian nan konsentrasi pada pangan berbobot gizi tinggi dan model perkebunan family berkepanjangan (family farming), mengatakan “family farming alias perkebunan family berbasis biodiversity (keanekaragaman) dan tidak memakai pupuk kimia, terbukti sukses menggeser langkah pandang dari pertanian modern dan revolusi hijau ke aktivitas agro-ekologi.”

"Lihat gimana aktivitas family farming nan dilakukan petani-petani mini ini justru dapat menjadi aktivitas besar,” tambahnya penuh semangat.

“Lihat gimana nan memastikan akses pada pangan, dan apalagi menyelamatkan pangan dunia, bukan perusahaan-perusahaan multi nasional alias multi internasional, tetapi rakyat.”

Dirjen FAO: Pangan adalah HAM

Dalam aktivitas nan berjalan di tengah gejolak politik bumi dan perubahan suasana itu, Dirjen FAO Qu Dongyu, menekankan bahwa pangan adalah kewenangan asasi manusia. Ia menggambarkan tema Hari Pangan Sedunia tahun ini – ialah “Hak atas Pangan untuk Kehidupan nan Lebih Baik dan Masa Depan nan Lebih Baik” – sebagai pengingat bahwa semua orang berkuasa atas kecukupan pangan.

Data FAO menunjukkan ada sekitar 730 juta orang nan menghadapi kelaparan dan lebih dari 2,8 miliar orang di seluruh bumi nan tidak bisa mendapatkan makanan sehat. Oleh lantaran itu Qu Dongyu mendesak seluruh pemangku kepentingan untuk “mengambil tindakan segera” guna membangun sistem pertanian pangan nan dapat “memberi gizi pada dunia.”

Saat memperkenalkan Nissa, pembawa aktivitas di forum FAO itu menyebutnya sebagai penggagas sekolah petani muda “yang membantu petani mempunyai skill pertanian berkepanjangan dengan tidak melupakan nilai-nilai kearifan lokal.”

“Ia (Nissa) telah berbagi pengetahuan ke seluruh masyarakat di sekitarnya,” tambahnya.

Sebagai wanita nan lahir dari family petani, nan senantiasa menggantungkan mata pencahariannya dengan mengolah lahan pertanian dan perkebunan di kaki Gunung Papandayan, di Garut, Jawa Barat, Nissa mengatakan kearifan lokal terbukti ikut menjaga dan mempertahankan kesiapan pangan.

“Dalam kearifan lokal orang Sunda, kita mengenal sawah. Sawah adalah penyimpanan makanan nan paling variatif, mudah diakses, murah dan aman. Di penyimpanan makanan ini kita menemukan makanan nan berbeda-beda. Ada padi, ada eceng sawah, tutut, keong mas, genol alias ikan kecil-kecil, jamur nan tumbuh subur di pinggir-pinggir pematang terutama setelah hujan dan banyak lainnya. Kekayaan luar bias ini baru di sawah saja," papar Nissa

"Ini semua aksesnya sangat mudah, murah dan jika dikelola secara organik maka circular economy nan dikelola pesantren ekologi ini tak terhingga. Bayangkan gimana jerami misalnya, nan setelah panen tidak dibuang, tapi dijadikan pakan ternak bebek dan angsa; alias daun-daun nan kering, dikumpulkan dan ditanam di tanah. Ini tidak terjadi dalam revolusi hijau lantaran semua kudu bersih untuk kemudian diberi pupuk urea. Tapi kami mempertahankan apa nan ada di alam. Belum lagi jika kita bicara azola pinata nan sangat pandai menangkap protein dan oksigen di dalam udara," tutur Nissa nan bakal memaparkan semua perihal ini dalam forum perbincangan internasional di FAO pada hari Kamis (17/10).

Melindungi Hak Petani atas Lahan Hingga Mendorong Family Farming

Nissa Wargadipura dikenal luas di Garut sejak tetap mahasiswa ketika dia melindungi hak-hak petani lokal dan menentang kebijakan pembebasan lahan tahun 1989. Pada tahun 1997 sekitar 700 petani sukses mendapatkan lahan mereka kembali, tetapi Nissa tidak berakhir hingga di situ lantaran berikutnya dia menarget pemberdayaan petani lewat pembentukan “Serikat Petani Pasudan.”

Salah satu organisasi petani nan paling berpengaruh di Jawa Barat itu sekarang mempunyai lebih dari 100.000 anggota. Mereka berupaya keluar dari tekanan tengkulak nan menguasai pasar, bibit hingga pupuk, dan apalagi mengatur nilai jual. Walhasil petani nyaris tidak punya duit untuk memperkuat hidup dan kudu selalu berjuntai pada tengkulak.

Di situs FAO, Nissa menceritakan gimana terjun ke bumi pendidikan dengan mendirikan pesantren menjadi jalan satu-satunya jalan agar para petani dan family mereka percaya pada kearifan lokal.

Sejak awal didirikan pada tahun 2008, Pesantren Ath-Thaariq – nan berfaedah “jalan” – tidak saja mendidik santri soal agama, pendidikan tradisional dan formal, tetapi juga agroekologi, ketahanan pangan dan pengolahan hasil panen berbobot gizi tinggi. Ia juga mendorong peran aktif wanita dalam organisasi pertanian ini.

Di lahan seluas satu hektar, Nissa merancang sistem penanaman tumpang sari di mana beragam tanaman dibudidayakan secara bersamaan, di lahan nan sama. Ia hanya membaginya berasas zona, misalnya buah-buahan tropis, makanan pokok, rempah-rempah, alias kolam ikan.

Nissa: Mendorong Anak Muda Tertarik pada Family Farming Bukan Hal Mustahil

Nissa mengatakan bumi semestinya bangga dengan kesukaan dan kesungguhan anak-anak muda pada family farming nan dapat menyediakan makanan nan beragam, bergizi, terjangkau dan aman.

“Saya biasanya masuk ke mereka dengan menjelaskan sungguh mereka sekarang hidup dalam situasi nan terancam lantaran serba instan. Bagaimana sekarang ini ada begitu banyak penyakit baru seperti migrain, depresi, diabetes, ovum nan tidak berkualitas, sperma nan tidak sehat dan kelak generasi nan tidak berkualitas. Ini kami masukkan di kurikulum dan akhirnya justru serius menekuni perihal ini. Mereka jadi punya kesadaran nan sangat tinggi soal apa nan mereka tanam, apa nan mereka konsumsi dan hasilnya kelak. Ini suatu nan dapat dicapai, bukan sesuatu nan mustahil,” tegas Nissa.

Perkebunan alias pertanian family (family farming) seakan menjadi langkah untuk menebus kegagalan revolusi hijau. Lewat teknik ini, Nissa dan 27 “Pahlawan Makanan” lainnya mendorong pelestarian produk makanan tradisional nan menggunakan sumber daya alam berkelanjutan, sembari sekaligus menjaga keanekaragaman hayati dunia. Target besar nan menurut Nissa sebenarnya dapat dimulai dari laman belakang rumah kita sendiri.

Selengkapnya
Sumber Internasional
Internasional