Liputan6.com, Gaza - Angka-angka dapat diperdebatkan, dipolitisasi, dijadikan senjata. Namun, selama perang terbaru Hamas versus Israel, nomor menjadi bukti tindakan luar biasa kejam: menghilangkan identitas.
Dengan semakin banyaknya korban tewas, nomor seolah menjadikan tragedi kemanusiaan sekadar hitungan, mengaburkan duka seorang ibu, tangis seorang anak, dan angan seorang ayah. Tidak hanya di sisi Jalur Gaza, namun juga Israel.
Tariq Haddad menyimpan nomor 175 di benaknya. Itulah jumlah personil keluarganya nan diyakininya tewas di Jalur Gaza selama lebih dari 12 bulan terakhir, sejak perang pada 7 Oktober 2023, nan diawali dengan serangan Hamas ke Israel selatan. Angka nan dicatat Haddad mungkin bertambah, namun tetap dia berkeinginan membagikan kisahnya.
"Hamza baru berumur 10 tahun," ujarnya kepada Al Arabiya News merujuk pada salah satu kerabatnya, seperti dikutip Kamis (16/10/2024).
"Dia satu-satunya personil keluarganya nan selamat. Dia terbangun di rumah sakit dengan amputasi dan berita bahwa orang tuanya, paman-pamannya, kakek-neneknya, setiap personil keluarganya tewas. Dan kemudian dia sendiri meninggal lantaran trauma akibat amputasinya."
Delapan adalah jumlah mil dari praktik medis Haddad di Virginia ke Gedung Putih dan Kementerian Luar Negeri AS.
Sebagai seorang mahir jantung Palestina-Amerika Serikat (AS), Haddad menghabiskan hari-harinya menyelamatkan nyawa orang asing sementara tidak berkekuatan menyelamatkan keluarganya sendiri. Ketika berita tentang kisahnya sampai ke instansi Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, Haddad pun diundang untuk bertemu.
Namun, dia kemudian diberitahu bahwa pertemuan itu hanya bakal berjalan selama 3 menit. Itu adalah nomor lain nan menurutnya tidak dapat diterima – waktu nan tidak memadai untuk mengungkapkan kemarahannya atas akibat support militer AS terhadap Israel. Jadilah dia menulis surat sepanjang 12 halaman, alih-alih memilih bertatap muka dengan Blinken.
"Bagaimana saya bisa menatap mata seseorang selama tiga menit nan tidak hanya dapat mencegah kematian personil family saya dan 15.000 anak di Gaza nan tewas, namun juga secara aktif berkontribusi terhadap penderitaan dan kematian mereka dengan menyediakan amunisi militer dari pasokan militer AS untuk membunuh family saya dan menghancurkan rumah mereka?"
Haddad mengatakan suratnya tidak mendapat tanggapan.
Ingin Hidup Damai
Angka 3 mempunyai resonansi nan berbeda bagi Michael Levy. Itulah usia nan dicapai oleh keponakannya Almog – nan dikenal sebagai Moggy – pada ulang tahunnya nan terakhir. Orang tua Moggy, Or dan Eynav, tidak dapat berbagi kesempatan itu.
Ibu meninggal di tempat perlindungan peledak di pagelaran musik Supernova pada 7 Oktober, nan diserbu Hamas. Michael mengatakan Or sukses menelepon keluarganya dari tempat perlindungan.
"Dia hanya mengulang sebuah kalimat. 'Ibu, Ibu tidak dapat menyangka apa nan terjadi di sini.' Sepuluh menit kemudian, teroris tiba di tempat perlindungan peledak dan menembakinya dengan peluru dan granat, mereka apalagi menembakkan granat berpeluncur roket (RPG) ke dalamnya," tutur Levy.
Dari 27 orang di tempat perlindungan itu, hanya sedikit nan selamat. Or adalah salah satunya. Dia disebut diseret ke truk, berbareng dengan Hersh Goldberg-Polin nan lengannya putus setelah mencoba melemparkan granat ke luar tempat perlindungan.
Goldberg-Polin termasuk di antara enam mayit nan ditemukan dari sebuah terowongan di Jalur Gaza oleh tentara Israel pada bulan September. Ayah Moggy dikabarkan tetap berada di Jalur Gaza.
Levy menjadikan pembebasan saudaranya sebagai misinya. Dia telah berbincang dengan Paus Fransiskus, presiden, dan perdana menteri dalam upayanya mencapai tujuan itu. Dia menerima simpati dan dukungan, namun seperti Haddad, usahanya tidak membuahkan hasil.
"Kita semua mau hidup damai," kata Levy kepada Al Arabiya News.
"Saya mau hidup tenteram dengan Palestina. Saya tidak membenci siapa pun. Saya hanya mau kerabat saya kembali dan para sandera lainnya kembali. Dan semoga kita dapat menemukan langkah untuk hidup berbareng dalam damai."
Haddad juga mengakui adanya ikatan berbareng antara orang-orang tak berdosa di kedua belah pihak nan terus berbagi penderitaan dan kesedihan setiap hari.
"Saya rasa ada kemanusiaan dalam diri kita semua nan mengikat kita bersama. Dan saya berdiri di sini dan mengatakan bahwa saya dapat merasakan dan berempati dengan penderitaan siapa pun," ungkap Haddad.
Demikian kisah dua manusia, seorang Palestina dan seorang Israel, nan sangat menginginkan berakhirnya perang. Keduanya sepakat bahwa lebih dari 365 hari nan terlampaui sejak 7 Oktober 2023 adalah jumlah nan tidak boleh terus bertambah.