Liputan6.com, Beijing - Perekonomian China tumbuh pada kuartal ketiga dengan laju paling lambat sejak awal tahun lalu, lantaran negara itu sedang berjuang untuk meningkatkan pertumbuhan nan melambat.
Menurut Biro Statistik Nasional China, secara tahunan, produk domestik bruto (PDB) naik sebesar 4,6% dalam tiga bulan hingga akhir September. Angka tersebut lebih rendah dari kuartal sebelumnya dan di bawah sasaran pemerintah "sekitar 5%" untuk tahun ini. Dilansir dari BBC pada Jumat (21/10/2024).
Faktor eksternal seperti kenaikan tarif dari era Donald Trump dan pandemi COVID-19 dinilai berkontribusi terhadap kesengsaraan ekonomi Tiongkok.
Lalu, respons Partai Komunis China (CCP) terhadap tantangan ini dianggap hanya memperburuk masalah nan mendasarinya.
Dilaporkan pula terjadi masalah di sektor real estat nan membikin krisis finansial di Tiongkok. Dengan terus menurunnya nilai dan penjualan rumah, sektor ini tidak menunjukkan tanda-tanda pemulihan, nan menakut-nakuti tabungan dan investasi jutaan family Tiongkok.
Ketidakmampuan CCP untuk menyediakan kesempatan nan berfaedah bagi masyarakat mudanya telah menyebabkan krisis kepercayaan di kalangan pemuda Tiongkok.
Keputusan rezim untuk berakhir menerbitkan nomor pengangguran pemuda pada Juni 2023 menunjukkan sungguh seriusnya situasi tersebut. Bahkan dengan metodologi revisi mereka nan mengecualikan pelajar, nan dengan mudah menurunkan nomor resmi menjadi 14,9%, pengangguran pemuda tetap nyaris tiga kali lipat dari rata-rata nasional.
Munculnya aktivitas lie flat di kalangan penduduk muda Tiongkok merupakan dakwaan nan memberatkan terhadap model ekonomi CCP.
Ketika generasi berikutnya secara aktif menolak janji mobilitas ke atas nan melegitimasi kekuasaan partai selama beberapa dekade, perihal itu menandakan adanya masalah mendasar dalam perjanjian sosial antara CCP dan rakyatnya.
China tetap berada di barisan terdepan dalam perihal penemuan manufaktur dengan serangkaian inisiatif percontohan baru. Laporan kerja pemerintah untuk tahun ini mengungkap sebuah inisiatif AI Plus nan dirancang untuk memperluas ekonomi digital dan memode...
Krisis Legitimasi di China
Kesulitan ekonomi dianggap berasal dari keengganan pemerintah untuk melaksanakan reformasi nan diperlukan nan dapat menakut-nakuti kendali politiknya.
Keinginan partai untuk mempertahankan sistem perbankan nan dikendalikan negara dan kebijakan industrinya nan menyimpang telah menciptakan angin besar inefisiensi ekonomi nan sempurna.
Hasilnya adalah kelebihan produksi besar-besaran di sektor-sektor utama, nan mengarah pada praktik dumping nan merugikan perusahaan-perusahaan Tiongkok.
CCP juga dilaporkan menghadapi krisis legitimasi. Selama beberapa dekade, partai tersebut membenarkan kekuasaan otoriternya dengan memberikan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan standar hidup.
Ketika perjanjian sosial implisit ini runtuh, rezim tersebut semakin berjuntai pada pengawasan, kontrol, dan nasionalisme untuk mempertahankan kekuasaan.
Meskipun perangkat pengawasan canggih CCP memungkinkannya untuk menekan perbedaan pendapat nan terlihat, dia tidak dapat mengatasi tantangan ekonomi mendasar nan dihadapi Tiongkok.
Ekonomi China Diramal Tak Bakal Cerah Tahun Depan
Bank Dunia memperkirakan ekonomi China bakal terus menurun hingga 2025, meski ada dorongan sementara dari langkah-langkah stimulus baru-baru ini.
Melansir CNBC International, Bank Dunia memperkirakan bahwa tingkat pertumbuhan China bakal turun menjadi 4,3% tahun depan, turun dari 4,8% nan diproyeksikan untuk tahun 2024.
Proyeksi tahun 2024 naik 0,3% dari perkiraan Bank Dunia pada bulan April dan muncul setelah China meluncurkan serangkaian langkah-langkah stimulus baru-baru ini, meningkatkan kepercayaan penanammodal dan mendorong reli pasar saham, nan sejak itu gagal.
Namun, terlepas dari langkah-langkah tersebut, nan sebagian besar difokuskan pada kebijakan moneter, proyeksi pertumbuhan Bank Dunia tahun 2025 tidak berubah dari proyeksi sebelumnya.
Kepala ahli ekonomi Asia Timur dan Pasifik Bank Dunia, Aaditya Mattoo mengatakan dimensi fiskal dari langkah-langkah stimulus ekonomi China tetap belum terdefinisi, sehingga memperumit proyeksi.
“Pertanyaannya adalah apakah (stimulus) betul-betul dapat mengimbangi kekhawatiran konsumen tentang penurunan gaji, kekhawatiran tentang penurunan pendapatan properti, dan ketakutan jatuh sakit, menjadi tua, menjadi pengangguran,” kata Mattoo.
Pelemahan Konsumen China
Pemberi pinjaman internasional tersebut mengaitkan lemahnya shopping konsumen China dengan banyaknya kekhawatiran, di samping tantangan seperti pelemahan pasar properti nan terus-menerus, populasi nan menua, dan meningkatnya ketegangan global.
Bank Dunia sebelumnya telah menganjurkan China untuk meningkatkan pertumbuhannya melalui tindakan kebijakan nan berani seperti melepaskan persaingan, meningkatkan infrastruktur, dan mereformasi pendidikan.
Namun menurut Mattoo, stimulus tersebut bukanlah pengganti reformasi struktural nan lebih mendalam nan bakal dibutuhkan China untuk meningkatkan pertumbuhan jangka panjang.
Namun, setiap dorongan dari langkah-langkah stimulus bakal disambut baik oleh seluruh kawasan, nan tetap sangat berjuntai pada China untuk pertumbuhan, tambahnya.