Liputan6.com, Jakarta - Kucing, dengan kelucuannya, telah menjadi bagian dari beragam meme viral semenjak internet pertama kali tersebar luas. Walau kebanyakan meme viral berumur pendek dan mudah dilupakan setelah beberapa waktu, sepertinya meme kucing selalu relevan dan terkesan abadi.
Namun, daya tarik kucing tidak hanya diakui baru-baru ini lantaran "meme" kucing rupanya apalagi sudah disebarluaskan sejak lebih dari 100 tahun nan lalu.
Melansir dari BBC pada Rabu (16/10/2024), gambar-gambar kucing telah relevan dalam konteks komunikasi antarmanusia sejak awal abad ke-20, dalam corak kartu pos.
Meme kucing dalam bentuknya nan modern sudah ada sejak tahun 1990-an, ketika email pertama kali memungkinkan para pekerja instansi dan kawan nan jenuh untuk saling berkirim pesan berisi kucing lucu. Kucing-kucing tersebut melompat dari sana ke media sosial seiring dengan berkembangnya web, di mana video viral seperti Keyboard Cat dan meme seperti Grumpy Cat bermunculan di beragam platform. Peminat konten ini sangat tinggi sehingga situs web seperti ICanHasCheezburger bermunculan untuk menampilkan video dan meme kucing.
Namun sebelum diciptakannya internet, kucing-kucing dulu “viral” dan sering muncul dalam kartu pos era Edwardian. Dan, menurut para mahir sejarah media, memahami kartu pos kucing di awal abad ke-20 mungkin bisa membantu kita memahami media sosial saat ini.
Seorang kurator senior di Museum Seni Rupa Boston, dan salah satu kurator pameran The Postcard Age di museum tersebut, Ben Weiss mengatakan, “Beberapa perihal tetap memperkuat dari generasi ke generasi dan media, dan penggambaran kucing adalah salah satunya. Hal ini cukup melegakan.”
Menurut Weiss, pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, kartu pos berfaedah seperti media sosial saat ini. Kartu pos nan lebih murah, lebih cepat, dan lebih nyaman daripada surat digunakan untuk berbagi pikiran, merencanakan tempat dan waktu untuk bertemu, menceritakan lelucon, dan juga mengirim gambar kucing.
Baik itu surat nan dikirim dengan prangko pada tahun 1924 alias postingan nan diunggah ke media sosial pada tahun 2024, kucing dalam beragam corak selalu ada untuk para seniman dan khalayak umum.
Kucing Sebagai Ikon Politik di Awal Abad ke-20
Pada saat itu, kucing dianggap lebih dari sekadar hewan pengusir hama. Para raja dan sosialita, termasuk Ratu Victoria, adalah penikmat kucing nan terkenal, dan hubungan hewan ini dengan Halloween sangat terkenal. Beberapa kartu pos menampilkan aktivitas kucing pada umumnya, seperti menyeruput susu dari piring, bermain dengan benang, dan berjemur di bawah sinar matahari. Sebagian lagi mendandani kucing sebagai manusia, melakukan pekerjaan dan ikut serta dalam aktivitas rumah tangga.
Namun, penggunaan kucing di kartu pos tidak selalu sesantai itu.
Seperti meme saat ini, budaya kartu pos bersenggolan dengan politik. Beberapa kucing kartu pos nan paling terkenal dikaitkan dengan aktivitas Hak Pilih Perempuan di Inggris alias nan dikenal sebagai Suffrage Movement. Kartu pos dijual sebagai penggalangan biaya untuk tujuan sosial. Selain itu, perusahaan kreator kartu pos juga mengambil kesempatan untuk membikin konten seputar isu-isu nan menjadi perhatian masyarakat.
“Kartu pos mirip dengan meme, dan sama seperti saat ini, budaya visual pada awal abad ke-20 adalah tentang hewan, terutama kucing,” ujar seorang pustakawan di Universitas Johns Hopkins, dan kurator pameran Votes and Petticoats nan memperingati budaya visual aktivitas Hak Pilih Perempuan, Heidi Herr.
Kucing biasanya diasosiasikan dengan suasana rumah tangga, dan "harus menjadi pasif, cantik, dekoratif, dan sopan”, kata Herr, tetapi pada saat nan sama, kucing adalah pemangsa dan siapa pun nan memeliharanya tahu bahwa kucing suka menggunakan cakarnya. Herr mengatakan, "Kaum Suffragette (pejuang Hak Pilih Perempuan) adalah ratu kapitalis, mereka membangun brand mereka," kata Herr.
Gerakan ini sangat pandai dalam menggunakan media baru seperti kartu pos dan movie untuk menyampaikan pesan mereka dan kucing menawarkan simbolisme nan kuat.
Sejarah Kartu Pos, Media Sosial Zaman Dahulu
Kartu pos pertama dicetak di Austria-Hongaria pada tahun 1869, waktu nan tepat untuk sebuah penemuan di bagian surat-menyurat lantaran pada tahun 1874, 21 negara membentuk Universal Postal Union, nan memungkinkan surat dikirim dan dikirimkan secara internasional. Lebih banyak negara menyusul di tahun-tahun berikutnya, dan kartu pos mengikuti perkembangan ini.
Seperti meme, kartu pos tidak hanya memuat gambar dan beberapa baris teks, tetapi juga merupakan bukti nyata perubahan bumi dan kemajuan teknologi nan mengejutkan nan memungkinkannya untuk dikirimkan setiap hari ke tangan dan kotak surat masyarakat.
“Kita telah melupakan kepadatan jaringan komunikasi di awal abad ke-20, nan digunakan oleh kartu pos,” kata Weiss. “Anda dapat mengirim kartu pos kepada seseorang pada pukul 10.00 dan mengatakan bahwa Anda bakal tiba di sana pada pukul 17.30, jika Anda pergi dari Manhattan ke Jersey City, dan Anda dapat menyampaikan pesan tersebut dengan cepat.”
Kartu pos di awal abad ke-20 bisa dibilang menandai pertama kalinya dalam sejarah bahwa komunikasi dengan kecepatan seperti itu terjangkau dan dapat diakses secara luas oleh kebanyakan orang. Weiss mengatakan bahwa, antara tahun 1900 dan 1914, “ada kegilaan besar-besaran di seluruh bumi terhadap kartu pos sampai-sampai orang mengatakan bahwa kartu pos telah menjadi penyakit dalam aliran darah masyarakat”.
Selama era demam kartu pos ini, jutaan kartu pos nan tak terhitung jumlahnya beredar, dan ini merupakan momen nan tepat bagi kucing untuk mengambil alih media baru ini.
Tanggapan terhadap Kartu Pos Mencerminkan Tanggapan terhadap Internet
Tidak semua orang merasa nyaman dengan akibat kartu pos terhadap masyarakat. Menurut penulis kitab Picturing the Postcard: A New Media Crisis at the Turn of the Century, Monica Cure, surat berita menyebut kartu pos sebagai “teror baru” dan “monster Frankenstein”, cemas dengan ketenaran produk tersebut.
Kantong para pekerja pos membengkak dengan kartu pos, sehingga muncullah kisah-kisah tentang cedera akibat mengangkat kantong surat nan terlalu berat.
“Kartu pos dianggap begitu cepat,” kata Cure. “Ada banyak keluhan tentang apa nan bakal dilakukan kartu pos terhadap keahlian membaca dan menulis orang, lantaran jika Anda bisa menulis beberapa baris saja, kenapa Anda kudu belajar tata bahasa dan menjadi penulis nan baik?” lanjutnya.
Orang-orang juga cemas kartu pos bakal menyebabkan lebih banyak hubungan nan dangkal, lantaran alih-alih saling menulis surat, mereka hanya saling berkirim foto.
Sifat kartu pos nan terbuka dan tidak tersegel juga menakutkan bagi banyak orang, kata Cure. Ide pertama untuk kartu pos sebenarnya ditolak lantaran “terlalu menakutkan untuk mempunyai sesuatu di mana pelayan dapat membaca surat Anda”.
Saat ini, kekhawatiran serupa meramaikan percakapan seputar media sosial. Sosial media terlalu cepat, merupakan ancaman keamanan nasional, dan mengarah pada pemikiran nan lebih dangkal.
Menurut Cure, bentuk-bentuk baru dari teknologi komunikasi mengusik cara-cara nan biasa digunakan orang untuk memandang diri mereka sendiri dan organisasi mereka.