Liputan6.com, Jakarta Pembentukan Mahkamah Etik Nasional sebagai lembaga independen nan mempunyai kewenangan untuk menindak pelanggaran etika di semua tingkatan pemerintahan dinilai krusial dilakukan.
"Meskipun sudah ada beberapa lembaga etik di institusi-institusi, efektivitasnya tetap dipertanyakan,” kata Juanda, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Esa Unggul dalam obrolan golongan terpumpun (FGD) bertema Memperkokoh Etika Penyelenggara Negara dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara nan digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Universitas Sumatera Utara, Medan, Jumat, 1 November 2024.
Dewan alias Mahkamah Etik Nasional ini diharapkan dapat memberikan hukuman nan tegas dan berdikari untuk mengawasi para penyelenggara negara dalam mematuhi standar etika nan ada. Namun, Juanda mengakui bahwa pembentukan lembaga etik saja tidak cukup. Perubahan nyata kudu dimulai dari pendidikan etika nan kuat sejak usia awal hingga di perguruan tinggi.
Juanda menyoroti sungguh tetap lemahnya penerapan etika dalam norma dan pemerintahan di Indonesia. Padahal dalam praktek berbangsa dan bernegara, Indonesia sudah mempunyai Pancasila sebagai dasar negara.
"Sebagai bangsa nan merdeka, ideologi Pancasila adalah kesepakatan nasional nan telah dinormalkan dalam konstitusi,” ujar dia.
Lemahnya penerapan etika itu memunculkan paradoks negara norma di Indonesia. Juanda mempertanyakan konsepsi tersebut nan juga tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945.
"Apakah betul Indonesia sudah menjadi negara hukum? Keadilan belum terpenuhi, korupsi tetap jalan, dan kedisiplinan publik tetap kurang. Sulit menjawabnya dengan jernih," katanya.
Dia menegaskan, etika semestinya menjadi daya utama dalam penegakan hukum, bukan sekadar norma normatif nan terpisah dari moral.
Tanggal 1 Oktober setiap tahunnya selalu diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Ternyata ada makna dan makna mendalam di kembali peringatan hari berhistoris tersebut.