Jakarta PinangRaya - Ekonomi berkepanjangan baik dalam tataran dunia maupun domestik bakal ditentukan dengan keselarasan pencapaian positif perekonomian dan penerapan transisi ekonomi rendah karbon.
Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menggelorakan sasaran pertumbuhan ekonomi tinggi hingga delapan persen. Hal itu bukan sesuatu nan mustahil dicapai. Namun tantangan utamanya adalah membikin laju ekonomi positif nan sejalan dengan dekarbonisasi ekonomi.
Mengapa Indonesia memerlukan keselarasan itu ? Sebagai salah satu negara dengan penghasil emisi nan besar, kealpaan Indonesia dalam menerapkan ekonomi rendah karbon dapat mempercepat kenaikan suhu iklim. Ketika indikasi krisis suasana semakin kuat, biaya ekonomi bakal semakin tinggi. Hal itu dipicu akibat dari perubahan suasana dan penerapan ekonomi rendah karbon nan terlambat.
Selain itu, pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia juga banyak berasal dari sektor-sektor penghasil emisi tinggi seperti pertambangan, pertanian dan transportasi. Jika dekarbonisasi tidak dikelola dengan baik, maka bakal menakut-nakuti sumber-sumber pertumbuhan ekonomi dan mengabaikan komitmen ekonomi berkelanjutan.
Indonesia sudah meniti jalan dekarbonisasi sejak beberapa tahun silam. Beberapa kebijakan itu antara lain pengkinian sasaran penurunan emisi gas rumah kaca melalui arsip Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) Indonesia. Dalam arsip itu, sasaran penurunan emisi gas rumah kaca Indonesia dengan keahlian sendiri meningkat ke 31,89 persen dari 29 persen, sedangkan sasaran dengan support internasional meningkat ke 43,20 dari 41 persen.
Pemerintah juga mempunyai sasaran bauran daya baru terbarukan (EBT) pada tahun 2025, nan rencananya disesuaikan menjadi 17-19 persen. Meskipun diturunkan dari sasaran sebelumnya di 23 persen, pemerintah berjanji bakal mengakselerasi pembangkit EBT.
Indonesia juga sudah mempunyai Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 nan mengatur NIlai Ekonomi Karbon dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan nan di dalamnya menata soal pajak karbon.
Di tataran industri, pemerintah, di antaranya, telah menerbitkan Perpres 55 Tahun 2019 untuk mempercepat pengembangan ekosistem kendaraan listrik.
Terlepas dari pelbagai kebijakan rendah karbon nan sudah diusung, pemerintah perlu terus mengakselerasi dekarbonisasi. Upaya penyesuaian ekonomi rendah karbon perlu diarus-utamakan dalam beragam instrumen kebijakan dan juga melalui support politik.
Tim Prabowo Subianto juga sebelumnya mengemukakan rencana untuk membentuk Badan Pengelola Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Niaga Karbon alias BP3I-TNK. Ide lembaga nan dikenal sebagai badan karbon itu pertama kali mengemuka saat pertemuan tim transisi Prabowo Subianto sebelum dilantik menjadi Presiden ke-8 RI, dengan Kantor Staf Presiden (KSP). Badan karbon direncanakan menjadi regulator utama nan mengelola pasar karbon nasional.
Realisasi pembentukan badan karbon sekarang dinanti untuk mengatasi perubahan suasana serta menangkap kesempatan ekonomi dari pasar karbon dunia nan semakin berkembang.
Peluang dari dekarbonisasi
Berbagai izin dan kebijakan nan mendukung dekarbonisasi ekonomi perlu terus dilahirkan. Hal ini untuk menjaga suasana investasi Indonesia lantaran hadapan bumi sekarang mengarah pada daya hijau.
Negara-negara semakin terlihat memusuhi daya fosil, dengan berlomba-lomba memangkas emisi dalam aktivitas ekonominya. Dunia dipacu untuk mengadaptasi kebijakan dekabronisasi guna memitigasi kenaikan suhu melampaui 1,5 derajat celcius sebagaimana Perjanjian Paris.
Dalam rekomendasi Kerangka Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), emisi dunia perlu dipangkas 45 persen sebelum 2030 dan mencapai emisi nol bersih pada 2050. Dekarbonisasi juga memberikan Indonesia banyak kesempatan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi dan berkelanjutan. Indonesia dengan kekayaan alam nan besar mendapatkan kesempatan untuk memanfaatkan momentum. Larangan ekspor sumber daya alam semestinya menjadi pendorong agar nilai ekspor Indonesia semakin melejit dengan memanfaatkan momentum transisi energi.
Contohnya di bagian transportasi. Menurut Institute for Essential Services Reform (IESR), kendaraan penumpang mengeluarkan 73,1 persen dari total 150 juta ton setara karbon dioksida nan dikeluarkan. Hal itu mendorong perlu adanya strategi dekarbonisasi transportasi nan menyeluruh.
Upaya untuk menurunkan emisi di sektor transportasi memerlukan penemuan teknologi seperti penggunaan kendaraan listrik dan optimasi kendaraan umum rendah emisi.
Indonesia mempunyai kesempatan besar untuk mengoptimalkan kendaraan listrik mengingat potensi persediaan nikel nan begitu besar terkandung di bumi Tanah Air, ialah 40 persen dari persediaan nikel global.
Industri kendaraan listrik perlu didukung dengan pendekatan holistik untuk memastikan tidak ada satu pun sektor nan tertinggal. Pemberian insentif perlu dilakukan sesuai kebutuhan baik di sektor hulu dan hilir. Di hulu, pemerintah, di antaranya, dapat memastikan agar kendaraan listrik memenuhi syarat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Sementara di hilir, pemerintah perlu memastikan kesiapan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU)
Selain itu, Indonesia juga dapat menarik minat investasi asing untuk pembangunan pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan (EBT). Hal itu sudah dilakukan Indonesia dengan pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) apung terbesar di Asia Tenggara, di Waduk Cirata, Jawa Barat, dengan listrik bersih mencapai 192 megawatt peak (MWp).
Perlu diketahui bahwa aliran investasi dunia untuk daya bersih sangat besar meskipun proporsi terhadap negara berkembang kudu terus ditingkatkan. Skema pembiayaan pun semakin beragam. Keketuaan G20 Indonesia pada 2022 lampau melahirkan insiatif Just Energy Transition Partnership (JETP) dengan total potensi pendanaan dari negara-negara maju hingga 20 miliar dolar AS. Inisiatif ini perlu terus dioptimalkan dengan realisasi pendanaan.
Indonesia juga dapat memanfaatkan kesempatan penyerapan tenaga kerja daya hijau untuk mengurangi pengangguran. Kementerian PPN/Bappenas memperkirakan bakal ada 15,3 juta pekerjaan baru di sektor ekonomi hijau hingga 2045.
Terlepas dari itu semua, tindakan nyata Indonesia juga terus dinanti. Peluang di bagian perdagangan, industri, dan investasi hijau memerlukan lanskap kebijakan pendukung nan kohesif. Mata bumi juga menanti pengesahan Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT) dan Rancangan Undang-Undang Perubahan Iklim agar semua corak komitmen dapat lebih sigap termanifestasikan dalam tindakan di Indonesia.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024