Jakarta PinangRaya - Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima gugatan dari Partai Buruh mengenai Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker). Dalam sidang nan berjalan di Jakarta pada Kamis (31/10), MK memutuskan untuk mencabut dan merevisi 21 pasal dari UU Ciptaker tersebut.
Keputusan MK tersebut berangkaian dengan perkara Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 nan menetapkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja sebagai Undang-Undang. Tuntutan pencabutan UU Cipta Kerja alias Omnibus Law nan diajukan oleh Partai Buruh diterima oleh seluruh Hakim MK.
Dalam putusannya, MK mengabulkan pengetesan konstitusional terhadap 21 norma dalam UU Cipta Kerja nan diajukan oleh Partai Buruh. Sementara itu, satu pasal nan dimohonkan tidak diterima, dan permohonan lainnya ditolak lantaran dianggap tidak berdasarkan secara hukum.
Dengan demikian, adapun berikut adalah 21 pasal dalam UU Cipta Kerja nan telah diubah berasas pokok permohonan nan dikabulkan oleh MK.
Daftar putusan 21 pasal nan dikabulkan MK
1. Menyatakan bahwa frasa “Pemerintah Pusat” dalam Pasal 42 ayat 1 dan Pasal 81 nomor 4 Lampiran UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat, selain dimaknai sebagai “Menteri nan bertanggung jawab di bagian (urusan) ketenagakerjaan, dalam perihal ini Menteri Tenaga Kerja.”
2. Menyatakan bahwa Pasal 42 ayat 4 dalam Pasal 81 nomor 4 UU 6/2023 nan mengizinkan tenaga kerja asing dipekerjakan di Indonesia bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat, selain dimaknai dengan memperhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.
3. Menyatakan bahwa Pasal 56 ayat 3 dalam Pasal 81 nomor 12 UU 6/2023 nan menentukan jangka waktu pekerjaan berasas perjanjian kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat, selain dimaknai bahwa jangka waktu tidak melampaui lima tahun, termasuk perpanjangan.
4. Menyatakan bahwa Pasal 57 ayat 1 dalam Pasal 81 nomor 13 UU 6/2023 nan mengharuskan perjanjian kerja waktu tertentu dibuat secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dan huruf Latin bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat, selain dimaknai sebagai tanggungjawab untuk membikin perjanjian secara tertulis dalam bahasa tersebut.
5. Menyatakan bahwa Pasal 64 ayat 2 dalam Pasal 81 nomor 18 UU 6/2023 nan menyebut "Pemerintah menetapkan sebagian penyelenggaraan pekerjaan" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat, selain dimaknai bahwa "Menteri nan menetapkan sebagian penyelenggaraan pekerjaan sesuai dengan jenis dan bagian pekerjaan alih daya dalam perjanjian tertulis."
6. Menyatakan Pasal 79 ayat 2 huruf b dalam Pasal 81 nomor 25 UU 6/2023 nan menyatakan “Istirahat minggguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat sepanjang tidak dimaknai “atau dua hari untuk lima hari kerja dalam satu minggu”.
7. Menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 79 ayat 5 dalam Pasal 81 nomor 25 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat.
8. Menyatakan bahwa Pasal 88 ayat 1 dalam Pasal 81 nomor 27 UU 6/2023 nan menyebut “Setiap pekerja/buruh berkuasa atas penghidupan nan layak bagi kemanusiaan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat, selain dimaknai sebagai penghasilan nan memenuhi kebutuhan hidup wajar bagi pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk makanan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan agunan hari tua.
9. Menyatakan bahwa Pasal 88 ayat 2 dalam Pasal 81 nomor 27 UU 6/2023 nan menyebut “Pemerintah pusat menetapkan kebijakan pengupahan untuk mewujudkan kewenangan pekerja/buruh atas penghidupan nan layak” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat, selain dimaknai sebagai melibatkan majelis pengupahan daerah, termasuk unsur pemerintah daerah, dalam perumusan kebijakan pengupahan untuk pemerintah pusat.
10. Menyatakan frasa “struktur dan skala upah” dalam Pasal 88 ayat 3 huruf b dalam Pasal 81 nomor 27 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat sepanjang tidak dimaknai “struktur dan skala bayaran nan proporsional”.
11. Menyatakan Pasal 88C dalam Pasal 81 nomor 28 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk gubernur wajib menetapkan bayaran minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota”.
12. Menyatakan bahwa frasa “indeks tertentu” dalam Pasal 88D ayat 2 dalam Pasal 81 nomor 28 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat, selain dimaknai sebagai variabel nan mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah dengan mempertimbangkan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL).
13. Menyatakan frasa “dalam keadaan tertentu” dalam Pasal 88 F dalam Pasal 81 nomor 28 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat sepanjang tidak dimaknai “Yang dimaksud dengan ‘dalam keadaan tertentu’ mencakup antara lain musibah alam alias non-alam termasuk kondisi luar biasa perekonomian dunia dan/atau nasional nan ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
14. Menyatakan Pasal 90A dalam Pasal 81 nomor 31 UU 6/2023 nan menyatakan “Upah di atas bayaran minimum ditetapkan berasas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh perusahaan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat sepanjang tidak dimaknai “Upah di atas bayaran minimum ditetapkan berasas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh alias serikat pekerja/serikat pekerja di perusahaan”.
15. Menyatakan Pasal 92 ayat 1 dalam Pasal 81 nomor 33 UU 6/2023 nan menyatakan “Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala bayaran di perusahaan dengan memperhatikan keahlian perusahaan dan produktivitas” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala bayaran di perusahaan dengan memperhatikan keahlian perusahaan dan produktivitas, serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi”.
16. Menyatakan bahwa Pasal 95 ayat 3 dalam Pasal 81 nomor 36 UU 6/2023 nan menyebut “Hak lainnya dari pekerja/buruh didahulukan pembayarannya atas semua kreditur selain kreditur pemegang kewenangan agunan kebendaan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat, selain dimaknai bahwa kewenangan tersebut didahulukan atas semua kreditur, termasuk kreditur preferen, selain kreditur pemegang kewenangan agunan kebendaan.
17. Menyatakan bahwa Pasal 98 ayat 1 dalam Pasal 81 nomor 39 UU 6/2023 nan menyebut “Dewan pengupahan dibentuk untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah pusat alias wilayah dalam perumusan kebijakan dan pengembangan sistem pengupahan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat, selain dimaknai bahwa majelis pengupahan kudu berperan-serta secara aktif.
18. Menyatakan bahwa frasa “Wajib dilakukan perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh” dalam Pasal 151 ayat 3 dalam Pasal 81 nomor 40 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat, selain dimaknai sebagai tanggungjawab untuk melaksanakan perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat.
19. Menyatakan frasa "Pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan sistem penyelesaian perselisihan hubungan industrial" dalam pasal 151 ayat (4) dalam pasal 81 nomor 40 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat sepanjang tidak dimaknai "Dalam perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan maka pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial nan putusannya telah berkekuatan norma tetap".
20. Menyatakan frasa 'dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya" dalam norma pasal 157A ayat (3) dalam pasal 81 nomor 49 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat sepanjang tidak dimaknai 'sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial nan berkekuatan norma tetap sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang PPHIPPHI."
21. Menyatakan frasa "diberikan dengan ketentuan sebagai berikut" pasal 156 ayat 2 dalam pasal 81 nomor 47 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan norma mengikat sepanjang tidak dimaknai 'paling sedikit."
Baca juga: Ini bagian UU Cipta Kerja nan digugat Partai Buruh
Baca juga: Mengenal UU Cipta Kerja beserta poin-poin utamanya
Baca juga: Uji materi UU Ciptaker dikabulkan MK, Partai Buruh: Keadilan tetap ada
Pewarta: M. Hilal Eka Saputra Harahap
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2024